Konseling Posmodern:
Mampukah Membantuk Karakter
Berbasis Budaya Unggul Nusantara?
Makalah
Dibahas dalam Seminar
Nasional dengan Tema
“Konseling Post-Modern dan
Pendidikan Karakter Bangsa”
Bulan Pendidikan FIP UNESA di
Surabaya, Tanggal 7 Mei 2011
Andi Mappiare-AT
Republik Indonesia
Provinsi Jawa
Timur
Kota
Pahlawan Surabaya
2011
|
1
I.
Pokok-Pokok Pikiran:
Konseling
Posmodern vs. Pendidikan Karakter
Makalah ini bukan bahan
kuliah, melainkan bahan diskusi. Karenanya, sifat kajian bukan
informatif-praktis, melainkan problematik-teoretis bahkan filosofis. Ada lima
bongkahan problema yang ditawarkan khusus dalam forum mulia ini. “Lima
bongkahan” tidaklah berarti keramat, itu hitungan artifisial semata.
“Ditawarkan khusus” karena keutuhan naskah ini adalah diramu dari hasil-hasil
penelitian dan publikasi mutakhir. Tempat disajikan materi ini adalah “Forum
mulia” karena dalam suasana “Bulan Pendidikan” yang memang mulia. “Lima
bongkahan” dimaksud diabstraksikan dalam pokok-pokok pikiran berikut:
1. “Konseling
Posmodern”(?), barang apa itu? Bukankah “Konseling” itu senantiasa di bawah
modernitas yang memiliki agenda mengubah orang? Bukankah “Posmodern” itu
gaya-hidup “semau-gue”? Bagaimana
mungkin ada “Konseling Posmodern”? Hanya karena ada posmodern kubu
konstruktif yang revisioner selain yang dekonstruktif?
2. Konseling Posmodern
diwacanakan sebagai bermuatan konstruktivisme psikologis dan konstruksionisme
sosial. Bagaimana kedua perspektif ini dimainkan dalam konseling posmodern?
Konseling posmodern mengagendakan dekonstruksi dan rekonstruksi frame yang destruktif. Lho! Bukankah perspektif posmodern
menghindari external judgement?
3. Kontinum
posmodern-modern berassosiasi dengan kontinum dalam filsafat pendidikan:
Naturalisme/Nativisme (“kiri”) versus Empirisme (“kanan”). Bukankah, menurut
filosofinya posmodern itu turun dari Schouvenhauwer/J.J. Rousseau yang
berlawanan dengan John Locke? Apakah kecenderungan Konvergensi a’la William Stern memungkinkan
pemunculan konseling posmodern? Apakah ini dasar dari sifat eklektik
konseling posmodern? Mengapa pula “Konseling Posmodern” begitu perlu?
4. Ditengarai telah terjadi
“Evolusi Kebudayaan”, bahkan “Erosi Kebudayaan”. Kepribadian bangsa telah
pudar? Karakter nasional telah kabur?
Identitas etnis/religius/seksual tiada lagi berbatas-tegas? Diri (self) telah lemah? Informasi
bermuatan pendidikan telah kalah bersaing dengan informasi bermuatan “politik
identitas”? Dalam konteks sosial itu, dapatkah pendidikan karakter jadi
andalan? Adakah secercah harapan dalam “Pergerakan Kebudayaan” (Cultural Movement)? Bukankah sudah
diperlukan “Revolusi Kebudayaan”?
5. “Revolusi Kebudayaan”
adalah percepatan kesadaran budaya, kepekaan budaya, dan kompetensi budaya.
Itu dapat dilakukan melalui “Pendidikan Kritis”. Mungkinkah di sinilah
masuk-berpadunya “Konseling Posmodern” kubu konstruktif yang revisioner?
|
2
II.
Konseling Posmodern:
Tema-tema Menghilangkan Paradoks
“Lima
bongkahan” yang diabstraksikan di depan dicoba ditegaskan dalam bagian ini.
Pendekatannya tetap konsisten “Posmodern” ~ menggunakan frame subjektif yang bersifat cair (fluid), mengandalkan konstruksi-konstruksi pribadi/profesional,
mengharapkan pemahaman intersubjektif peserta seminar mencapai
konsensus-kontekstual. Ketiadaan kutipan-kutipan dari pemegang otoritas
konsep/konstruk/proposisi merupakan ciri yang melekat pada posmodern murni.
(Semoga saja tidak ada komplain hak cipta atau “cap plagiat” dari kaum modernis atas
konstruksi-konstruksi dalam paparan ini!) Referensi yang ditampilkan hanyalah
karya-karya sendiri, baikpun hasil-hasil penelitian ataupun kajian konseptual
~ untuk menghindari “cap plagiasi karya sendiri”.
1. Tema-1: Konseling Posmodern adalah Pembebasan
Konseling pada dasarnya memiliki spirit modernitas. Sebagaimana pendidikan,
konseling melakukan kontrol dan merekonstruksi pribadi, mengagendakan
karakter yang diharapkan, mengupayakan penegasan identitas, rekayasa self; berniat merubah orang.[1] Kata
“Posmodern”, pada lain pihak, memiliki dua pengertian. Pertama, “posmodern” sebagai
suatu era, zaman, dari rangkaian era tradisional/pramodern atau zaman klassik yang
ditandai kekerabatan (s/d abad 14/15), lalu era
modern (mulai abad 16/17), berganti era romantik (mulai awal abad 19/20),
kemudian beralih menjadi posmodern (mulai abad 20/21). Kedua,
“posmodern” sebagai suatu gaya hidup (life-styles), suatu
pandangan dunia, suatu filosofi yang memuat nilai-nilai (values) khas yang diyakini oleh suatu
komunitas.[2]
Menurut sosio-filosofinya, spirit posmodernitas adalah freedom, mengakui relativisme bahkan
nihilisme nilai, menghargai kebebasan ekspresi, ketiadaan kontrol, menolak
pandangan binary-opposition,
misalnya, ukuran-ukuran perilaku “layak” dan “tidak layak”, bahkan menolak
konstruksi “konselor-klien”(?), khususnya hubungan “Patron-Klien”.[3]
Tampaknya kata “konseling” dan kata “posmodern” adalah sungguh-sungguh
paradoks ~ “mengontrol” versus “membebaskan”. Bagaimana mungkin adanya
Konseling Posmodern? Mungkin saja, jika konseling dilandasi semangat
kebebasan dan pembebasan. Syarat utama dan pertama, memang, adalah kebebasan
dan pembebasan diri konselor dari
|
3
“cengkeraman”
perspektif status-quo, melepaskan
diri dari citra-citra keunggulan filosofi dan teknologi modernis; negasi
terhadap ontologi dan epistemologi modernitas. Jika konselor mampu mendapat
kebebasan dan pembebasan diri maka dapat diharapkan konselor itu dapat
menghargai tanpa syarat kebebasan konseli dan dapat melakukan pembebasan
konseli membuat definisi diri dan konstruksi-konstruksi sosial-pribadi yang
dikehendaki oleh konseli itu sendiri. Jadi, tema kunci konseling posmodern
adalah “Konseling Pembebasan” dan memfasilitasi rekonstruksi pengetahuan
diri.
2. Tema-2: Posmodern
Tetaplah Mengandalkan Internal
Judgement
Dalam rentang kontinum ancangan-ancangan konseling terpetakan Konseling
Inhibisi Resiprokal dan Behavioral pada ujung paling kanan dan Konseling
Humanisme dan Eksistensialisme pada ujung kiri. Apa yang kita kenal dengan
“Konseling Posmodern” sesungguhnya adalah pergeseran lebih ke “kiri” dari
eksistensialisme. Konseling Posmodern memperkuat diri dengan meminjam
konsepsi konstuktivisme psikologi (psychological
constructivism) dan dipadukan dengan, setelah memutarbalikkan
(mendekonstruksi dan merekonstruksi) konstruksi-konstruksi dari
konstruksionisme sosial (social
constructionism). Bukankah proses itu hanyalah mutasi genetika dari
Konseling Modern yang pada dasarnya adalah “kanan”? Bukankah Konseling
Posmodern sesungguhnya bersemangat “Neomodern”?
Apapun itu, sementara, Konseling Posmodern telah memiliki basis
filosofis yang diterima cukup lama: eksistensialisme. Eksistensialisme adalah
ancangan berorientasi afektif, juga berassosiasi
dengan gerakan potensi manusia, menekankan pentingnya fenomenologi dan
meyakini bahwa masalah atau kerisauan ada dengan sendirinya atau melekat
sejalan dengan keberadaan seseorang. Hakekat manusia diyakini sebagai
perlu mengemban tugas yang ditetapkan oleh kehidupan sehingga orang
menetapkan makna hidup; berjuang untuk bebas dari instink dan lingkungan;
individu tidak bisa diprediksi; manusia bebas dan bertanggungjawab bagi
dirinya. Konstruk inti mengenai kepribadian terletak pada tingkahlaku yang termotivasi oleh upaya untuk
menemukan makna; manusia tidaklah didorong secara eksternal melainkan ditarik
oleh nilai-nilainya. Hakekat kecemasan dilukiskan sebagai berasal dari
kurangnya makna dalam hidup atau ancaman
akan nonbeing atau
ketiadaan. Tujuan
konseling adalah konseli mengalami
keberadaan sebagai riel sehingga individualitasnya dapat bertindak
berdasarkan potensialitas dan mengembangkan komitmen. Untuk itu,
eksistensialisme
|
4
menekankan pada keberadaan
konselor dan berbuatnya konseli. Konseling
dipandang sebagai parnersip, konselor mengambil resiko bagi dirinya
dan mendukung konseli menjadi dirinya.
Konseling posmodern adalah aliran yang lebih “kiri” dari
eksistensialisme. Konseling Posmodern lahir dari kubu “Posmodern Konstruktif”
yang bersifat revisioner. Konseling Posmodern yang revisioner itu mengadopsi
sejumlah keyakinan dan konsepsi eksistensialisme, memperkuat keyakinannya
dengan bersandar pada konsepsi konstuksionisme psikologi (psychological constructionism), misalnya PCP-nya George Kelly. PCP
memiliki konsepsi psikologis bahwa tindakan manusia adalah bergantung pada
konstruksi pribadi atau pemaknaan internal terhadap diri dan situasinya.
Setiap orang bebas memiliki internal
judgment (milik pribadi). Dalam kerangka menemukan internal judgement konseli, semua penganut konseling posmodern
cenderung menekankan pentingnya peran bahasa dan ancangan kolaboratif dalam
bekerja bersama konseli.[4]
Konseling Posmodern adalah melawan kubu “Posmodern Dekonstruktif” yang
dipandang kerjanya hanya menihilkan nilai, mengkapitaliskan lembaga dan
profesi. Dalam pandangan “Posmodern Dekonstruktif”, semua lembaga (termasuk
lembaga keluarga), profesi seperti pendidikan, konseling dan psikoterapi,
yang senantiasa bekerja secara “patron-klien”, tidak lebih dari kaki-tangan
kapitalis untuk memperkuat status-quo.
Kubu “Posmodern Dekonstruktif” sangat berorientasi kritik dan memang anti-kemapanan.
Kubu ini dipelopori “filosof mutakhir” di antaranya Derrida, Lyotard,
Foucauld, dan agaknya termasuk pula Berger.
Konseling Posmodern yang “bertunas” pada filosofi “Posmodern
Konstruktif” mengutamakan perspektif negasi (‘negation’), rekonstruksi, bingkai-ulang (‘reframe’) pemikiran-pemikiran manusia, baik dalam hal ontologi
maupun epistemologi pengetahuan, dengan tetap mengandalkan internal judgment. Internal judgment memang berbasis kebebasan (freedom) namun ini gayut dengan tanggungjawab (responsibility). Dengan basis
kebebasan-bertanggungjawab itu, dalam
konseling diupayakan negasi dan ko-negasi, rekonstruksi dan ko-rekonstruksi, reframe dan co-reframe (konseli-konselor). Intersubjektivitas dan co-experiences terjadi dalam encounter konseling. Hanya dengan begitu manusia dapat mencapai
hidup bermakna (meaningful-life) ~ bekerja, bercinta dan bermain (play) atau rekreasi. Kata “bercinta”
adalah berarti luas, mulai dari menyintai diri sendiri sampai dengan
menyintai Tuhan dan (kembali ke diri) merasa dicintai Tuhan; kata “bekerja”
juga adalah berarti luas mulai dari kerja kongkret untuk materi (enersi)[5] sampai
|
5
pada bekerja
dalam arti “being mode”, yaitu
“menjadi”, hidup berdampingan secara damai, bekerja dan bersatu-padu dengan
orang-orang lain. Internal judgment tidak harus meniadakan nilai melainkan
menerapkan nilai secara relatif, kontekstual, berbasis konsensus, termasuk
konsensus dengan diri sendiri. Kubu “Posmodern Konstruktif” adalah cukup
santun karena hanya sampai merelatifkan nilai, tidak sampai menihilkan nilai.
Dalam merasionalkan keberadaan “Konseling Posmodern”, “filosof’ dan
pemikirnya memutarbalikkan (mendekonstruksi dan merekonstruksi)
konstruksi-konstruksi dari konstruktivisme sosial (social constructivism) dari kubu “Posmodern Dekonstruktif”. Kubu
“Posmodern Konstruktif” dipelopori oleh filosof-filosof kenamaan misalnya
Kierkegaard, Rollo May, dan Frankl, dari tradisi eksistensialisme; juga,
sebagian tokoh, Kant, Hegel, dan Vailhinger, sisi landasan epistimologik dari
tradisi fenomenologis; juga, sebagian lagi, Heidegger, Ricoeur, dan Gadamer,
dari sisi landasan epistemologik dari tradisi hermeneutika.[6]
3. Tema-3: Konvergensi Boleh Saja “Miring ke Kiri”
Sentilan soal ujung “kiri-kanan” di atas membawa assosiasi kita ke ranah filsafat
pendidikan, rentang antara keyakinan Naturalisme-nya Schouvenhauwer dan
Nativisme-nya J.J. Rousseau (“kiri”) versus Empirisme-nya John Locke
(“kanan”) yang ditengahi oleh Konvergensi-nya William Stern. Sejak zaman
pemikir kuno demikian sesungguhnya yang namanya “Pendidikan Karakter” telah
diperdebatkan ikhwal “kuasanya” atau daya-pendidikan (educational power), dipersoalkan bagaimana pendekatan dan cara
pewarisan atau pembentukannya; kemudian berlanjut pada kemunculan variasi
konsepsinya dari zaman-ke-zaman, dari tokoh-ke-tokoh, pada berbagai belahan
dunia. Empat rangkaian konsep bersusun secara piramidal yaitu pribadi >
karakter > identitas > diri (self)[7] merupakan
“wilayah garapan” pendidikan sejak zaman kuno. Mengapa kita sekarang menjadi
ramai seakan-akan pendidikan karakter adalah sesuatu yang baru? Apakah kita
telah salah menetapkan filosofi pendidikan? Atau jangan-jangan filosofi
pendidikan kita tidak jelas? Bukankah dasar negara kita sendiri pernah
dipertanyakan dan kayaknya belum terlalu bulat “kesepakatan rakyat” sejak
Reformasi 1998?
Hal jelas, pandangan konvergensi pendidikan memungkinkan pemunculan
“Pendidikan Posmodern” dan, tentu pula yang ada di dalamnya, “Konseling
Posmodern”. Sebentar... sebentar...!!! Apakah konseling bagian dari pendidikan,
ataukah bagian (“hanya
|
6
salah satu
teknik”) dari psikologi? Dalam hal ini, jujur, penulis sangat bias, bahwa
kata “Konseling” haruslah dihayati sebagai “Bimbingan & Konseling”.[8] Karena
konseling adalah tidak terpisahkan dari bimbingan dan bimbingan adalah bagian
integral dari pendidikan maka yang kita maksud di sini adalah “Konseling
Pendidikan”, bukan “konseling psikologis”.
Dalam statusnya sebagai “Konseling Pendidikan” itulah memungkinkan
adanya “Konseling Posmodern” ~ posisi konvergensi yang bisa sangat “miring ke
kiri” (sangat membebaskan). Mustahil adanya “Konseling Posmodern” pada
wilayah yang “miring ke kanan”, yang objektivistik-positivistik, mengandalkan
ukuran-ukuran luar, external judgment.
External judgment sangat berlawanan
dengan ontologi dan epistemologi Posmodern. Rasanya sulit terjadi paduan
“Behaviorisme-Posmodern”, bahkan janggal kalau ada yang namanya
“Kognitive-Behavioral Posmodern”; jelas mustahil adanya “Inhibisi-Resiprokal
Posmodern”, atau “Disiplin Formal Posmodern”.[9]
Ancangan-ancangan Behaviorisme, Kognitif-Behavioral, Inhibisi-Resiprokal, dan
Disiplin Formal, kesemuanya adalah ancangan-ancangan yang sangat kanan dalam
Konseling Pikologis dari Modernitas. Ukuran-ukuran luar atau external judgment, seperti tes,
inventori, dan skala-skala kepribadian, adalah roh-nya, betapapun itu
digunakan secara terbatas oleh beberapa di antara ancangan itu.
Pada sisi lain, karena fenomena Konseling Posmodern, sebagaimana
Konseling Modern, pada dasarnya adalah budaya dalam dirinya, dan Konseling
Posmodern adalah gayut dengan “Pergerakan Kebudayaan” ~ mengusung spirit
demokratisasi, pluralitas, dan multikulturalitas ~ semakin lama “Konseling
Pendidikan” semakin condong ke kiri beradaptasi dengan kecenderungan budaya
atau era mutakhir yaitu Posmodernitas. Hanya profesi yang menganut pembebasan
dan membebaskan yang dapat “menangkap”, memahami, dan mengupayakan
rekonstruksi secara revisioner. Ini menjawab pertanyaan mengapa “Konseling
Posmodern” begitu perlu! Sederhananya, untuk menangkap kuda akan lebih aman
dengan menunggang kuda. (Bayangkan bahwa gaya-hidup posmodern itu adalah
“liar” dan tidak teratur; karenanya harus dibuat jinak sendiri dengan
modus-kerja “liar” dan tidak teratur pula.)
Salah satu karakteristik budaya Posmodernitas adalah “pola-pola
berpikir instan”, atau “orientasi jangka-pendek” (short-term orientation). Pola pikir instan atau orientasi
jangka-pendek ini, jika berlebihan memang berbahaya. Manusia berkarakter
orientasi
|
7
jangka-panjang
dapat bersifat sabar “menanam sekarang dan memetik buah beberapa tahun
kemudian, bahkan hasilnya dipetik di alam baka”, misalnya beribadah secara
tekun untuk kelak masuk sorga (“long-term
hedonic”). Manusia berkarakter orientasi jangka-pendek, short-term hedonic, memungkinkan
menjadi teroris, “ngebom bunuh-diri saja, segera masuk sorga” (memangnya
segampang itu?). Namun tidak semua orientasi jangka-pendek adalah berbahaya.
Kepadatan kerja, tuntutan beban kerja dengan jadwal ketat, dalam mana sering
terjadi “semua mengerjakan semua”,[10] adalah
karakteristik tidak terpisahkan dari model kerja era Posmodern. Pekerjaan
guru dan siswa di sekolah adalah prototipe era ini. Maka, “konseling sekolah
satu sessi” (single session
school-counseling) menjadi sah-sah saja adanya. Pada bagian inilah, kemudian,
yang memungkinkan berpadunya “Konseling Posmodern” dengan “Konseling Singkat
Berfokus-Solusi” atau “Solution-Focused
Brief Counseling” (SFBC). Kita tahu, SFBC
ini diwacanakan sebagai bersifat eklektik. Kalau begitu, mungkinlah jadinya SFBC berbagi sifat dengan Konseling
Posmodern yang juga eklektik (disinggung serba singkat lagi di “tema-4” di
bawah ini).
4. Tema-4:
“Evolusi Kebudayaan” dan “Erosi Kebudayaan”
Perlu dihadapi dengan “Revolusi
Kebudayaan”
“Pendidikan Karakter” atau “B&K Bermisi Pendidikan Karakter” atau “Konseling
Pengembangan Karakter” atau “Character
Building”, adalah tema-tema yang lagi booming,
agak aneh rasanya. “Pendidikan Karakter” menjadi “booming” dan dinyatakan sebagai “misi baru”, “muatan baru”, atau
“tema baru” pendidikan atau bimbingan. Pendidikan dan bimbingan dalam era
kapanpun, di belahan dunia manapun adanya, dengan filosofi, teori, model, dan
metode apapun, sepanjang itu bernama “pendidikan” atau “bimbingan”, tetaplah
bertujuan pengembangan “karakter yang baik”. Bukankah “karakter” adalah suatu
ciri umum? Bukankah ia adalah kualitas netral? Bukankah itu bisa buruk dan
bisa baik? Jika niat suatu upaya sadar adalah untuk menciptakan
pribadi-pribadi eksploitatif-penimbun maka itu bukan pendidikan melainkan
pengajaran saja; itu bukan bimbingan melainkan cuci-otak semata. Dalam tujuan
umum pendidikan nasional suatu bangsa/negara, “karakter baik” dikemas dengan
terminologi berbeda-beda: “berkepribadian Pancasila”, “berpribadi takwa”,
“berwatak pejuang”, “identitas nasional”, dan seterusnya, dengan kualitas
khusus yang beragam: warga-negara
terpuji (sitizenships), bertakwa
|
8
kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berbudi-pekerti luhur, being
mode, gotong-royong, kasih-sayang, cinta-damai, ikhlas, dan seterusnya.
Di situlah soalnya. Beberapa fenomena berikut disebut-sebut sebagai
pemicu ramainya pembicaraan pendidikan karakter akhir-akhir ini. Pemikir
bangsa terkejut mendapati pendidikan gagal(?) membentuk pribadi MIS (Manusia
Indonesia Seutuhnya) atau yang bertakwa, gagal menciptakan karakter “being mode” (bergotong-royong dan
bersatu-padu) atau jauh dari matriarkis melainkan sangat patriarkis dan
eksploitatif-penimbun. Fenomena lainnya bahwa identitas nasional dan
identitas etnis atau identitas religius serta bahkan identitas seksual
kebanyakan remaja kita menjadi kabur, serta kebanyakan mereka jauh dari
kemampuan kelola-diri (bagaimana menghindari kesurupan, bagaimana mencegah
diri terlibat perkelahian massal, bagaimana menghindar dari seks bebas).
Telah terjadi “Evolusi kebudayaan”, bahkan “Erosi Kebudayaan”. Melalui
dukungan kecanggihan teknologi komunikasi, bombardir media massa bermuatan
iklan, yang bergandeng-tangan dengan kapitalis, “evolusi kebudayaan” telah
berhasil melakukan proses “politik identitas”.[11] Dapat
dikatakan bahwa informasi bermuatan pendidikan telah kalah bersaing dengan
informasi bermuatan “politik identitas”. Dalam konteks sosial itu, masih
dapatkah diandalkan upaya sadar yang bernama “Pendidikan”?
Jawabannya, tentu masih dapat, atau harus dapat diandalkan, namun harus
gayut dengan muatan budaya ~ meskipun sudah berpisah kementerian pendidikan
dengan kementerian kebudayaan. Secercah harapan ada dalam “Pergerakan
Kebudayaan” (Cultural Movement).
Pergerakan kebudayaan mengusung spirit demokratisasi, pluralitas, dan
multikulturalitas. Pergerakan kebudayaan, karena itu, melahirkan Konseling
Lintas-Budaya (Trans-Cultural
Counseling) atau Konseling Silang-Budaya (Cross-Cultural Counseling), dan kini gerakannya dalam bentuk
Konseling Multibudaya (Multicultural
Counseling). Pembelajaran konseling terkait atau bermuatan budaya, apapun
kekhususan nama matakuliahnya menjadi sangat sentral di sini, dan karenanya
sangat perlu ditopang dengan lebih banyak lagi penelitian setempat, misalnya
Penelitian Pengembangan atau PTK.[12] Kesemua tipe
konseling dalam wacana pergerakan kebudayaan ini longgar dijalankan dengan
menggunakan perspektif eklektik ~ entah technical
eclecticism, problem-oriented eclecticism, in-procedures eclecticism, ataupun systematic eclecticism.[13]
Namun, untuk mempercepat kebermaknaan Konseling Posmodern (untuk
Revitalisasi dan pewarisan budaya unggul nusantara), agaknya tidak cukup lagi
dengan
|
9
sekedar
“Pergerakan Kebudayaan” yang nota-bene adalah adopsi dari “Pergerakan Barat”
juga. Rasanya sudah diperlukan “Revolusi Kebudayaan”.
5. Tema-5:
Konseling Posmodern adalah Senjata
dalam “Revolusi Kebudayaan”
“Revolusi Kebudayaan” hanya dapat dilakukan dengan pendidikan kritis.
Pendidikan kritis dipersyarati dengan kesadaran akan keunikan dan keunggulan
nilai budaya sendiri, kesadaran telah berlangsung “politik identitas” yang
merusak sendi-sendi kepribadian bangsa > memupuskan karakter nasional >
mengaburkan identitas etnis dan religius bahkan mengaburkan batas-batas
identitas seksual > melemahkan konsep-diri. Pendidikan kritis selanjutnya
mengagendakan kepekaan budaya dan berlanjut dengan pelatihan kompetensi
budaya. Pendidikan kritis, pada akhirnya, memberdayakan “manusia tertindas”
(selama ini telah menjadi objek “politik identitas”) untuk bangkit menjadi pemikir
praksis sampai pada praksis level 5 ~ mengagendakan perubahan diri dan
perubahan sosial sesuai dengan kayakinan konstruktif dari budaya unggulnya
(kearifan lokal).[14] Apakah
konseling posmodern mampu membawa beban agenda ini? Bukankah Konseling
Posmodern dapat semakin memperkuat diri dengan menumpang pada pergerakan
kebudayaan yaitu spirit demokratisasi, pluralitas, dan multikulturalitas?
Dalam wahana konseling, Revolusi Kebudayaan ditandai dengan memasukkan
nilai-nilai budaya nusantara kedalam media bimbingan dan konseling. Harus diakui bahwa kemurnian, keefisienan,
dan keefektifan unsur-unsur makro dan mikro B&K Indonesia adalah minim
bukti empirik. Dalam tataran unsur-unsur makronya, misalnya, soal rumusan landasan
filosofis adalah perlu yang khas B&K Indonesia, selain tiruan dari
B&K Barat. Sepanjang penelusuran, masih sedikit penteorian B&K khas
budaya setempat, berbasis kearifan lokal. Beberapa di antara kita berhasil
menyusun, menguji, dan mempertahankan (dalam sidang ujian disertasi atau
tesis) sebuah model B&K tertentu yang bagus, namun tidak banyak yang didesiminasikan, dipublikasikan, dan
diperjuangkan hak ciptanya. Sungguh sangat disayangkan. Sangat bermanfaat sekiranya
model-model yang bagus itu terus dikembangkan dan tidak berhenti hanya sampai pada penyelesaian
studi..
Begitupun unsur-unsur mikronya, misalnya: apakah empat unsur bimbingan
komprehensif adalah konstruksi budaya sendiri? Mari kita perhatikan “empat
unsur B&K kita, yaitu pelayanan dasar, perencanaan individual, pelayanan
responsif, dan dukungan sistem”. Sepertinya, penyusun keempat unsur bimbingan
itu menganut
|
10
posmodern
dengan konstruktivisme sosial dan bertolak pada musyawarah-mufakat, atau
kesepakatan (konsensus-kontekstual)? Namun, karena tanpa basis riset nasional
rumusan itu menjadi bersifat top-down
sebagai ciri khas modernitas. Referensi yang umumnya muncul hanyalah
idiom-idiom bahasa asing, misalnya, “four
elements of school guidance” yaitu “guidance
curriculum, individual planning, responsive services, and system support”.
Bukankah itu tiruan dari konsepsi Barat? Pada tataran lainnya, apakah nuansa
keperluan asesmen otentik yang mendasari penyusunan program B&K adalah
pola kerja budaya nusantara? Atau itu tiruan pula dari praktik Barat? Apakah kita
memang lebih suka meniru karya pemegang otoritas (gaya modern) daripada
mengonstruksi sendiri menurut setting dan konteks keberadaan kita, atau
hasil-hasil penelitian dan konstruksi dan penteorian kita sendiri (gaya
posmodern)?[15]
Lebih mikro lagi, sebelas aspek kemandirian peserta didik ~ dari
pengembangan/kemandirian landasan hidup religius (aspek 1) sampai dengan
kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (aspek 11) dengan peniadaan aspek
ke-11 untuk tingkat pendidikan dasar ~ tampaknya sangat Indonesia sekali. Di
sini memang kurang tampak “peniruan Barat”-nya, terutama kalau diperhatikan
kandungan tiap tatatan internalisasi/tujuan tiap aspek. Nilai sosial budaya
Indonesia banyak dipertimbangkan.[16] Akan tetapi
apakah semuanya disusun dengan perspektif modern ataukah perspektif
posmodern? Atau, disadarikah oleh (tim) penyusunnya keberadaan/ketiadaan
perspektif di dalamnya? Apakah 11 aspek “Standar Kemandirian Peserta Didik”
itu ditawarkan sebagai bagian dari kurikulum dasar B&K? Ataukah isi pokok
program B&K? Ataukah semuanya hanyalah bahan penggugah inspirasi para
konselor di lapangan? Jawaban yang diberikan menunjukkan posisi kita: modern
ataukah posmodern.
Langkah lebih tajam perlu lebih banyak lagi diupayakan untuk secara
kongkret dilakukan revitalisasi dan pewarisan nilai budaya unggul nusantara
ke dalam Bimbingan & Konseling.[17] Untuk ini
diperlukan lebih banyak lagi media bermuatan nilai sosial budaya unggul
nusantara untuk dapat digunakan di dalam Konseling Posmodern.[18] Konseling
Posmodern perlu dibuat ampuh dengan “enersi” berupa muatan budaya unggul
nusantara. Dengan begitu, Konseling Posmodern dapat dijadikan senjata dalam
Revolusi Kebudayaan.
|
11
III. Konseling Posmodern:
Ajakan Membuat Refleksi
Menuju Solusi
Telah
disodorkan ungkapan-ungkapan provokatif sejak bagian I dan dielaborasi dalam
Bagian II di depan. Sifat paparan ini memang bahan “bacaan orang dewasa”,
kajian “30 tahun ke atas”. Meskipun telah diusahakan dipaparkan secara
gamblang, mungkin masih banyak bagian yang membuat kita berkerut kening. Jika
demikian, itu gejala bagus untuk forum diskusi. Bagian akhir ini berisi
ajakan membuat refleksi, bahan diskusi, menuju solusi.
1. Tema-1: Konseling Posmodern adalah Pembebasan
a. Yakinkah kita bahwa “kebebasan” dan “pembebasan” sebagai prasyarat
multak Konseling Posmodern? Jika “Ya”, mengapa yakin? Jika “Tidak”, mengapa
pula?
b. Kendala-kendala pribadi/profesional yang manakah yang dapat
menghambat kita berkeyakinan “kebebasan” dan “pembebasan”?
2. Tema-2:
Posmodern Tetaplah Mengandalkan Internal
Judgement
a. Yakinkah kita bahwa internal
judgement adalah modus-kerja andalan Konseling Posmodern? Jika “Ya”, mengapa yakin? Jika “Tidak”,
mengapa pula?
b. Kendala-kendala pribadi/profesional yang manakah yang dapat
menghambat konselor bekerja dengan modus internal
judgement?
3. Tema-3:
Konvergensi Boleh Saja “Miring ke Kiri”
a. Jika Konseling berkeyakinan “miring ke kiri” maka itu adalah
“Konseling Pendidikan”, jika “miring ke kanan” maka itu adalah “Konseling
Psikologis”. Bagaimana pula keyakinan kita masing-masing?
b. Mungkinkah orang-orang yang dalam batinnya berniat merubah orang
(konselor pada umumnya) dapat menghargai tanpa-syarat konstruksi-konstruksi
klien yang berkecenderungan destruktif (atau, dengan kata lain, mampukah
konselor bersikap “miring ke kiri”)?
|
12
4. Tema-4:
“Evolusi Kebudayaan” dan “Erosi Kebudayaan”
Perlu dihadapi dengan “Revolusi
Kebudayaan”
a. Bagaimana penghayatan kita masing-masing mengenai fenomena “Evolusi
Kebudayaan” dan “Erosi Kebudayaan” dalam era Posmodern?
b. Yakinkah kita dengan kemampuan “Pergerakan Kebudayaan” tanpa
“Revolusi Kebudayaan” dalam revitalisasi dan pewarisan nilai-nilai bangsa?
Adakah jalur lainnya? Sekiranya ada, apakah dan bagaimanakah jalur lainnya
itu?
5. Tema-5:
Konseling Posmodern adalah Senjata
dalam “Revolusi Kebudayaan”
a. Diyakini, agar Konseling Posmodern (juga bimbingan, tentu saja)
dapat diandalkan dalam “Revolusi Kebudayaan” haruslah bermuatan nilai-nilai
budaya unggul nusantara. Adakah keraguan dalam hal ini? Jika “Tidak ada”, apa
yang membuat kita yakin? Jika “Ada keraguan”, seperti apa dan dalam hal
apakah keraguan itu?
b. Misi “Revolusi Kebudayaan” adalah percepatan penataan karakter
anak-anak bangsa. Penelitian dan kajian budaya terkait konseling sudah cukup
banyak dilakukan orang. Apa dan bagaimana lagi kira-kira yang perlu kita
lakukan dalam mempercepat “Revolusi Kebudayaan” dengan senjata berupa
Konseling Posmodern?
|
[1] Ciri-ciri “modern” dari semua ancangan
konseling tampak pada tujuan umum konseling. Periksa, Andi Mappiare-AT., Pengantar Konseling dan Psikoterapi
(Jakarta: Rajawali Pers, Edisi Kedua, 2010: 45-59; 135-169).
[2] Kajian cukup lengkap dengan publikasi terbatas
mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Andi Mappiare-AT., “Optimalisasi
konsep-Diri dan Kelola Diri dalam Era Posmodern”, Makalah ditampilkan
dalam acara Seminar dan Dialog Interaktif oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Komisariat Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (Senin 11 September 2000).
[3] Kajian lebih lengkap dengan publikasi agak
luas mengenai posmodern dan bimbingan & konseling dapat dilihat dalam Andi
Mappiare-AT., “Nilai Posmodern dan Bimbingan Konseling Sosial-Pribadi:
Penegasan Konsep-Diri dan Optimalisasi Kelola-Diri Remaja”. Pendidikan Nilai: Kajian Teori, Praktik, dan
Pengajarannya (Thn 14, No. 2, Nov.
2007: 101 – 111).
[4] Andi Mappiare-AT., Pengantar Konseling dan
Psikoterapi, op.cit., 141-142.
[5] Cinta yang paling dasar sampai cinta taraf
paling tinggi adalah memerlukan enersi. Sederhananya, untuk bisa secara
bermakna menyintai pasangan hidup seseorang harus sehat atau memiliki enersi,
memiliki materi; begitupun realisasi cinta terhadap Tuhan, semua perlu cost. Namun bagi Posmodern Konstruktif,
materi tetaplah alat, bukan tujuan.
[6] Periksa pula beberapa konsep dan tokoh
terkait, misalnya, pada Andi Mappiare-AT., Kamus
Istilah Konseling dan Terapi (Jakarta: Rajawali Pers, 2006).
[7] Upaya-upaya penegasan konsep karakter,
identitas, dan self, pernah
diabstraksikan dan diulas penteoriannya dalam perspektif teori sosial kritik
(Fromm), interaksionisme simbolik (Mead), dramaturgi (Goffman), dan strukturasi
(Giddens), dalam Mappiare-AT., Identitas
Religius di Balik Jilbab: Perspektif Sosiologi Kritik (Malang: Penerbit
Universitas Negeri Malang, UM Press, 2009) ~ modifikasi struktur dari Laporan
Penelitian untuk Disertasi.
[8] Bimbingan & Konseling (B&K) memiliki
tiga status yang disandang bersamaan, yaitu disiplin ilmu (kajian), bidang
profesi, dan struktur atau pranata. Tidak ada soal dalam dirinya sendiri
(B&K) pada ketiga status itu. Serentetan soal bahkan problematika segera
muncul ketika manusia (komunitas) yang ada di dalamnya hendak mengafiliasikan
diri, mengidentikkan diri secara sadar, yaitu apa identitas keilmuan
(profesinya)?: Ilmu Pendidikan (pendidik)? Psikologi (psikolog)? Sosiologi
(konselor atau pekerja sosial yang altruistis)? Konseling adalah teknik andalan
bimbingan, jantung-hati bimbingan. Konseling kita adalah terikat dalam
bimbingan dan karenanya penulis lebih memilih simbol Bimbingan & Konseling daripada Bimbingan dan Konseling. Simbol “&” adalah lilitan tali yang menempatkan
Bimbingan sebagai pengikat
Konseling. Konseling adalah terikat di
dalam Bimbingan. Tegasnya, konseling kita bukanlah sekedar hanya sebagai satu
teknis saja dari psikologi. Apakah kita bangga jika ada yang berkata bahwa
“sesungguhnya konseling adalah lebih besar dari bimbingan”? Hati-hatilah!
Apakah kita bangga jika ada orang yang mewacanakan bahwa “tes sesungguhnya
terutama digunakan dalam konseling bukan dalam psikologi lainnya”? Super
hati-hatilah!!! Sadarkah kita bahwa “konseling” adalah area perebutan? Ada
“Politik Identitas” di sini.
[9] Ini ditulis dengan penuh kesadaran mengenai
sifat dari konstuktivisme psikologis dan konstruksionisme sosial yang melekat
pada posmodern: sesuatu yang sekarang janggal bahkan mustahil, jika
dikonstruksikan secara menerus maka akan menjadi wajar dan pantas rasanya pada
suatu saat kelak.
[10] Jika jadwal ketat adalah terkait dengan
spesialisasi dan diferensiasi kerja maka itu adalah karakteristik dari
modernitas, namun jika jadwal ketat dan kepadatan kerja sebagai konsekuensi
dari “semua menggarap semua” maka itu adalah “pembawaan” posmodernitas. Tidak
jarang kita mendengar pernyataan seperti: “Memberantas korupsi itu
tanggungjawab kita semua”, atau “Pendidikan karakter adalah misi kita semua”,
atau “Kita harus bekerja sama menanggulangi bencana alam”, atau “Kita perlu
bahu-membahu memberantas kemiskinan”, dst., dst. Tidak salah, tapi itulah
budaya kita. Dari segi ini, dari dulu juga kita berciri posmodern ~ semua
menggarap semua, tanpa spesialisasi dan diferensiasi.
[11] Keberadaan fenomena ini diperkuat dukungan
hasil penelitian pada tahun 2007 di Banda Aceh, Surabaya, dan Makassar.
Publikasi luas, periksa, Andi Mappiare-AT., Abd. Syukur Ibrahim dan Sudjiono ,
“Budaya Konsumsi Remaja-Pelajar di Tiga Kota Metropolitan Pantai Indonesia”. Jurnal Ilmu Pendidikan (Jilid 16 No.1,
Februari 2009: 12 – 21).
[12] Upaya yang dilakukan oleh penulis masih
sedikit dalam hal ini, baru ada hanya satu penelitian. Lihat, misalnya, Andi
Mappiare-AT., dan Ella Faridati-Zen, “Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Berbasis TIK Matakuliah Konseling Multibudaya untuk Peningkatan Kepuasan
Belajar, Partisipasi dan Prestasi Belajar Mahasiswa” (Laporan Teaching Grant, Jurusan Bimbingan dan
Konseling dan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang,
2009). Ini menghasilkan draf Buku Ajar dengan rancangan judul “Konseling Multibudaya: Orientasi
Praksis” (Modul Kolabortif, Bahan Ajar
Matakuliah Konseling Multibudaya).
[13]Istilah-istilah ini dan lain-lainnya dapat
ditemukan penjelasannya dalam Andi Mappiare-AT., Kamus Istilah Konseling dan
Terapi, loc.cit.
[14] Konsepsi umum “praksis” (praxis) telah diabstraksikan dalam Andi Mappiare-AT., Dasar-Dasar Metodologi Riset Kualitatif untuk Ilmu Sosial dan Profesi. (Surabaya: Penerbit Jenggala Pustaka Utama
bersama FIP UM, 2009: xiii). Diabstraksikan bahwa praksis adalah suatu
konsepsi mengenai keterkaitan teori-praktik, yang aslinya dari Karl Marx,
digunakan oleh Maxian, teori kritik, interaksionisme simbolik bernuansa kritik,
feminisme dan posmodern. Ada lima tataran aktivitas praksis seutuhnya yang
mungkin dilakukan seseorang: (1) menyusun teori dari aktivitas praktis yaitu
memaknai dan mengabstraksikan fenomena sehari-hari; (2) menerjemahkan teori
yang abstrak ke dalam rumusan praktis yaitu mengembalikan suatu abstraksi teori
menjadi deskripsi dan contoh kongkret misalnya dalam komunikasi ilmiah; (3)
mempraktikkan teori yang diyakininya yaitu melaksanakan aktivitas profesi
berdasarkan teori khas yang dianutnya; (4) mensenyawakan teori dengan praktik
yaitu menguji validitas teori dengan praktik dan menguji praktik dengan teori;
dan (5) menerapkan teori untuk perubahan sosial yaitu terlibat dalam aktivitas
sosial sehari-hari dalam mana seseorang menjalankan agenda perubahan sosial.
Aktivitas riset kualitatif melibatkan kelima tataran itu seutuhnya.
[15] Satu upaya kecil pernah dilakukan, publikasi
dari sebuah penelitian sederhana, untuk mendorong koreksi atas konsepsi
unsur-unsur makro, mikro, dan muatan B&K kita. Lihat, misalnya, Andi
Mappiare-AT., “Corak Bimbingan
Konseling, Pertimbangan Sosial Budaya dan Tekno-Media Memandirikan Siswa”. Teknologi Pendidikan: Jurnal
Teori dan Praktik (Tahun 21,
Nomor 1, Mei 2009: 16 – 32).
[16] Pernah dilakukan Penelitian Hibah Besaing 3
tahun berturut-turut dengan tema “Kultur Konsumsi
Remaja dan Upaya Bimbingannya: Studi Perspektif Posmodern mengenai Pembelanjaan
Pelajar dalam Kota Metropolitan Pantai Indonesia untuk Pengembangan Media
Bibliokonseling”. Melalui penelitian multiyear
ini diproduksi media bimbingan konseling bermuatan budaya atau kearifan lokal
berupa Novel (2007), Komik (2008), dan Media Bergambar (2009). Publikasi luas
konsep dan proposisi temuan dapat diperiksa kembali pada Andi Mappiare-AT., Abd. Syukur Ibrahim dan Sudjiono, loc.cit., 2009. Juga dapat
dilihat pada Andi Mappiare-AT., Fachrurrazy, dan Sudjiono, “Kecakapan Belanja
Siswa, Kearifan Kultural, dan Media Bimbingannya”. Jurnal Ilmu
Pendidikan (Jilid 17 No.3, Oktiber 2010: 178 – 188).
[17] Desiminasi awal hasil sebuah penelitian budaya
telah dicoba dilakukan, periksa, Andi Mappiare-AT., “Revitalisasi dan Pewarisan
Nilai Budaya Unggul Nusantara Melalui Media Bimbingan dan Konseling” Conference Proceeding, Konferensi
Nasional Assosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia, Tema “Peran Pendidikan dalam
Pembangunan Karakter Bangsa” di Malang, (Tgl. 16 – 17 Oktober 2010: 132 – 147).
[18] Penelitian level Hibah Kompetensi telah
dilakukan dalam mengungkap nilai sosial budaya unggul nusantara untuk menjadi
muatan bimbingan konseling, di antaranya, Andi Mappiare-AT., Pengembangan Media
Bergambar Berbasis Keunggulan Budaya Nusantara untuk Bimbingan Kemandirian
Siswa Sekolah Menengah: Dimensi Karir (2010), dengan produk “Media Pengembangan Perilaku Kewirausahaan
atau Kemandirian Perilaku Ekonomis untuk SMA/SMK/MA” (Aspek 8) dan “Media
Pengembangan Wawasan dan Kesiapan Karir untuk SMA/SMK/MA” (Aspek 9).