Selasa, 19 November 2013

Konseling Posmodern dan Isu Karakter





Konseling Posmodern:
Mampukah Membantuk Karakter
Berbasis Budaya Unggul Nusantara?


Makalah
Dibahas dalam Seminar Nasional dengan Tema
“Konseling Post-Modern dan Pendidikan Karakter Bangsa”
Bulan Pendidikan FIP UNESA di Surabaya, Tanggal 7 Mei 2011




Andi Mappiare-AT








Republik Indonesia
Provinsi  Jawa  Timur
Kota  Pahlawan  Surabaya

2011


1

I. Pokok-Pokok Pikiran:
Konseling Posmodern vs. Pendidikan Karakter
Makalah ini bukan bahan kuliah, melainkan bahan diskusi. Karenanya, sifat kajian bukan informatif-praktis, melainkan problematik-teoretis bahkan filosofis. Ada lima bongkahan problema yang ditawarkan khusus dalam forum mulia ini. “Lima bongkahan” tidaklah berarti keramat, itu hitungan artifisial semata. “Ditawarkan khusus” karena keutuhan naskah ini adalah diramu dari hasil-hasil penelitian dan publikasi mutakhir. Tempat disajikan materi ini adalah “Forum mulia” karena dalam suasana “Bulan Pendidikan” yang memang mulia. “Lima bongkahan” dimaksud diabstraksikan dalam pokok-pokok pikiran berikut:
1. “Konseling Posmodern”(?), barang apa itu? Bukankah “Konseling” itu senantiasa di bawah modernitas yang memiliki agenda mengubah orang? Bukankah “Posmodern” itu gaya-hidup “semau-gue”? Bagaimana mungkin ada “Konseling Posmodern”? Hanya karena ada posmodern kubu konstruktif yang revisioner selain yang dekonstruktif?
2. Konseling Posmodern diwacanakan sebagai bermuatan konstruktivisme psikologis dan konstruksionisme sosial. Bagaimana kedua perspektif ini dimainkan dalam konseling posmodern? Konseling posmodern mengagendakan dekonstruksi dan rekonstruksi frame yang destruktif. Lho! Bukankah perspektif posmodern menghindari external judgement?
3. Kontinum posmodern-modern berassosiasi dengan kontinum dalam filsafat pendidikan: Naturalisme/Nativisme (“kiri”) versus Empirisme (“kanan”). Bukankah, menurut filosofinya posmodern itu turun dari Schouvenhauwer/J.J. Rousseau yang berlawanan dengan John Locke? Apakah kecenderungan Konvergensi a’la William Stern memungkinkan pemunculan konseling posmodern? Apakah ini dasar dari sifat eklektik konseling posmodern? Mengapa pula “Konseling Posmodern” begitu perlu?
4. Ditengarai telah terjadi “Evolusi Kebudayaan”, bahkan “Erosi Kebudayaan”. Kepribadian bangsa telah pudar? Karakter nasional telah kabur?  Identitas etnis/religius/seksual tiada lagi berbatas-tegas? Diri (self) telah lemah? Informasi bermuatan pendidikan telah kalah bersaing dengan informasi bermuatan “politik identitas”? Dalam konteks sosial itu, dapatkah pendidikan karakter jadi andalan? Adakah secercah harapan dalam “Pergerakan Kebudayaan” (Cultural Movement)? Bukankah sudah diperlukan “Revolusi Kebudayaan”?
5. “Revolusi Kebudayaan” adalah percepatan kesadaran budaya, kepekaan budaya, dan kompetensi budaya. Itu dapat dilakukan melalui “Pendidikan Kritis”. Mungkinkah di sinilah masuk-berpadunya “Konseling Posmodern” kubu konstruktif yang revisioner?




2
II. Konseling Posmodern:
Tema-tema Menghilangkan Paradoks
“Lima bongkahan” yang diabstraksikan di depan dicoba ditegaskan dalam bagian ini. Pendekatannya tetap konsisten “Posmodern” ~ menggunakan frame subjektif yang bersifat cair (fluid), mengandalkan konstruksi-konstruksi pribadi/profesional, mengharapkan pemahaman intersubjektif peserta seminar mencapai konsensus-kontekstual. Ketiadaan kutipan-kutipan dari pemegang otoritas konsep/konstruk/proposisi merupakan ciri yang melekat pada posmodern murni. (Semoga saja tidak ada komplain hak cipta atau “cap  plagiat” dari kaum modernis atas konstruksi-konstruksi dalam paparan ini!) Referensi yang ditampilkan hanyalah karya-karya sendiri, baikpun hasil-hasil penelitian ataupun kajian konseptual ~ untuk menghindari “cap plagiasi karya sendiri”.
1. Tema-1: Konseling Posmodern adalah Pembebasan
Konseling pada dasarnya memiliki spirit modernitas. Sebagaimana pendidikan, konseling melakukan kontrol dan merekonstruksi pribadi, mengagendakan karakter yang diharapkan, mengupayakan penegasan identitas, rekayasa self; berniat merubah orang.[1] Kata “Posmodern”, pada lain pihak, memiliki dua pengertian. Pertama, “posmodern” sebagai suatu era, zaman, dari rangkaian era tradi­sional/pramodern atau zaman klassik yang ditandai kekerabatan (s/d abad 14/15), lalu era modern (mulai abad 16/17), berganti era romantik (mulai awal abad 19/20), kemudian  beralih menjadi posmodern (mulai abad 20/21). Kedua, “posmodern” sebagai suatu  gaya  hidup (life-styles), suatu pandangan dunia, suatu  filosofi  yang memuat nilai-nilai (values) khas yang diyakini oleh suatu  komunitas.[2]
Menurut sosio-filosofinya, spirit posmodernitas adalah freedom, mengakui relativisme bahkan nihilisme nilai, menghargai kebebasan ekspresi, ketiadaan kontrol, menolak pandangan binary-opposition, misalnya, ukuran-ukuran perilaku “layak” dan “tidak layak”, bahkan menolak konstruksi “konselor-klien”(?), khususnya hubungan “Patron-Klien”.[3]
Tampaknya kata “konseling” dan kata “posmodern” adalah sungguh-sungguh paradoks ~ “mengontrol” versus “membebaskan”. Bagaimana mungkin adanya Konseling Posmodern? Mungkin saja, jika konseling dilandasi semangat kebebasan dan pembebasan. Syarat utama dan pertama, memang, adalah kebebasan dan pembebasan diri konselor dari

3
“cengkeraman” perspektif status-quo, melepaskan diri dari citra-citra keunggulan filosofi dan teknologi modernis; negasi terhadap ontologi dan epistemologi modernitas. Jika konselor mampu mendapat kebebasan dan pembebasan diri maka dapat diharapkan konselor itu dapat menghargai tanpa syarat kebebasan konseli dan dapat melakukan pembebasan konseli membuat definisi diri dan konstruksi-konstruksi sosial-pribadi yang dikehendaki oleh konseli itu sendiri. Jadi, tema kunci konseling posmodern adalah “Konseling Pembebasan” dan memfasilitasi rekonstruksi pengetahuan diri.

2. Tema-2: Posmodern Tetaplah Mengandalkan Internal Judgement
Dalam rentang kontinum ancangan-ancangan konseling terpetakan Konseling Inhibisi Resiprokal dan Behavioral pada ujung paling kanan dan Konseling Humanisme dan Eksistensialisme pada ujung kiri. Apa yang kita kenal dengan “Konseling Posmodern” sesungguhnya adalah pergeseran lebih ke “kiri” dari eksistensialisme. Konseling Posmodern memperkuat diri dengan meminjam konsepsi konstuktivisme psikologi (psychological constructivism) dan dipadukan dengan, setelah memutarbalikkan (mendekonstruksi dan merekonstruksi) konstruksi-konstruksi dari konstruksionisme sosial (social constructionism). Bukankah proses itu hanyalah mutasi genetika dari Konseling Modern yang pada dasarnya adalah “kanan”? Bukankah Konseling Posmodern sesungguhnya bersemangat “Neomodern”?
Apapun itu, sementara, Konseling Posmodern telah memiliki basis filosofis yang diterima cukup lama: eksistensialisme. Eksistensialisme adalah ancangan berorientasi afektif, juga berassosiasi dengan gerakan potensi manusia, menekankan pentingnya fenomenologi dan meyakini bahwa masalah atau kerisauan ada dengan sendirinya atau melekat sejalan dengan keberadaan seseorang. Hakekat manusia diyakini sebagai perlu mengemban tugas yang ditetapkan oleh kehidupan sehingga orang menetapkan makna hidup; berjuang untuk bebas dari instink dan lingkungan; individu tidak bisa diprediksi; manusia bebas dan bertanggungjawab bagi dirinya. Konstruk inti mengenai kepribadian terletak pada tingkahlaku yang termotivasi oleh upaya untuk menemukan makna; manusia tidaklah didorong secara eksternal melainkan ditarik oleh nilai-nilainya. Hakekat kecemasan dilukiskan sebagai berasal dari kurangnya makna dalam hidup atau ancaman akan nonbeing atau  ketiadaan.  Tujuan konseling adalah konseli mengalami keberadaan sebagai riel sehingga individualitasnya dapat bertindak berdasarkan potensialitas dan mengembangkan komitmen. Untuk itu, eksistensialisme



4
menekankan pada  keberadaan konselor dan berbuatnya konseli. Konseling  dipandang sebagai parnersip, konselor mengambil resiko bagi dirinya dan mendukung konseli menjadi dirinya.
Konseling posmodern adalah aliran yang lebih “kiri” dari eksistensialisme. Konseling Posmodern lahir dari kubu “Posmodern Konstruktif” yang bersifat revisioner. Konseling Posmodern yang revisioner itu mengadopsi sejumlah keyakinan dan konsepsi eksistensialisme, memperkuat keyakinannya dengan bersandar pada konsepsi konstuksionisme psikologi (psychological constructionism), misalnya PCP-nya George Kelly. PCP memiliki konsepsi psikologis bahwa tindakan manusia adalah bergantung pada konstruksi pribadi atau pemaknaan internal terhadap diri dan situasinya. Setiap orang bebas memiliki internal judgment (milik pribadi). Dalam kerangka menemukan internal judgement konseli, semua penganut konseling posmodern cenderung menekankan pentingnya peran bahasa dan ancangan kolaboratif dalam bekerja bersama konseli.[4]
Konseling Posmodern adalah melawan kubu “Posmodern Dekonstruktif” yang dipandang kerjanya hanya menihilkan nilai, mengkapitaliskan lembaga dan profesi. Dalam pandangan “Posmodern Dekonstruktif”, semua lembaga (termasuk lembaga keluarga), profesi seperti pendidikan, konseling dan psikoterapi, yang senantiasa bekerja secara “patron-klien”, tidak lebih dari kaki-tangan kapitalis untuk memperkuat status-quo. Kubu “Posmodern Dekonstruktif” sangat berorientasi kritik dan memang anti-kemapanan. Kubu ini dipelopori “filosof mutakhir” di antaranya Derrida, Lyotard, Foucauld, dan agaknya termasuk pula Berger.
Konseling Posmodern yang “bertunas” pada filosofi “Posmodern Konstruktif” mengutamakan perspektif negasi (‘negation’), rekonstruksi, bingkai-ulang (‘reframe’) pemikiran-pemikiran manusia, baik dalam hal ontologi maupun epistemologi pengetahuan, dengan tetap mengandalkan internal judgment. Internal judgment memang berbasis kebebasan (freedom) namun ini gayut dengan tanggungjawab (responsibility). Dengan basis kebebasan-bertanggungjawab itu,  dalam konseling diupayakan negasi dan ko-negasi, rekonstruksi dan ko-rekonstruksi, reframe dan co-reframe (konseli-konselor). Intersubjektivitas dan co-experiences terjadi dalam encounter konseling.  Hanya dengan begitu manusia dapat mencapai hidup bermakna (meaningful-life) ~ bekerja, bercinta dan bermain (play) atau rekreasi. Kata “bercinta” adalah berarti luas, mulai dari menyintai diri sendiri sampai dengan menyintai Tuhan dan (kembali ke diri) merasa dicintai Tuhan; kata “bekerja” juga adalah berarti luas mulai dari kerja kongkret untuk materi (enersi)[5] sampai



5
pada bekerja dalam arti “being mode”, yaitu “menjadi”, hidup berdampingan secara damai, bekerja dan bersatu-padu dengan orang-orang lain.  Internal judgment tidak harus meniadakan nilai melainkan menerapkan nilai secara relatif, kontekstual, berbasis konsensus, termasuk konsensus dengan diri sendiri. Kubu “Posmodern Konstruktif” adalah cukup santun karena hanya sampai merelatifkan nilai, tidak sampai menihilkan nilai. Dalam merasionalkan keberadaan “Konseling Posmodern”, “filosof’ dan pemikirnya memutarbalikkan (mendekonstruksi dan merekonstruksi) konstruksi-konstruksi dari konstruktivisme sosial (social constructivism) dari kubu “Posmodern Dekonstruktif”. Kubu “Posmodern Konstruktif” dipelopori oleh filosof-filosof kenamaan misalnya Kierkegaard, Rollo May, dan Frankl, dari tradisi eksistensialisme; juga, sebagian tokoh, Kant, Hegel, dan Vailhinger, sisi landasan epistimologik dari tradisi fenomenologis; juga, sebagian lagi, Heidegger, Ricoeur, dan Gadamer, dari sisi landasan epistemologik dari tradisi hermeneutika.[6]

3. Tema-3: Konvergensi Boleh Saja “Miring ke Kiri”
Sentilan soal ujung “kiri-kanan” di atas  membawa assosiasi kita ke ranah filsafat pendidikan, rentang antara keyakinan Naturalisme-nya Schouvenhauwer dan Nativisme-nya J.J. Rousseau (“kiri”) versus Empirisme-nya John Locke (“kanan”) yang ditengahi oleh Konvergensi-nya William Stern. Sejak zaman pemikir kuno demikian sesungguhnya yang namanya “Pendidikan Karakter” telah diperdebatkan ikhwal “kuasanya” atau daya-pendidikan (educational power), dipersoalkan bagaimana pendekatan dan cara pewarisan atau pembentukannya; kemudian berlanjut pada kemunculan variasi konsepsinya dari zaman-ke-zaman, dari tokoh-ke-tokoh, pada berbagai belahan dunia. Empat rangkaian konsep bersusun secara piramidal yaitu pribadi > karakter > identitas > diri (self)[7] merupakan “wilayah garapan” pendidikan sejak zaman kuno. Mengapa kita sekarang menjadi ramai seakan-akan pendidikan karakter adalah sesuatu yang baru? Apakah kita telah salah menetapkan filosofi pendidikan? Atau jangan-jangan filosofi pendidikan kita tidak jelas? Bukankah dasar negara kita sendiri pernah dipertanyakan dan kayaknya belum terlalu bulat “kesepakatan rakyat” sejak Reformasi 1998?
Hal jelas, pandangan konvergensi pendidikan memungkinkan pemunculan “Pendidikan Posmodern” dan, tentu pula yang ada di dalamnya, “Konseling Posmodern”. Sebentar... sebentar...!!! Apakah konseling bagian dari pendidikan, ataukah bagian (“hanya



6
salah satu teknik”) dari psikologi? Dalam hal ini, jujur, penulis sangat bias, bahwa kata “Konseling” haruslah dihayati sebagai “Bimbingan & Konseling”.[8] Karena konseling adalah tidak terpisahkan dari bimbingan dan bimbingan adalah bagian integral dari pendidikan maka yang kita maksud di sini adalah “Konseling Pendidikan”, bukan “konseling psikologis”.
Dalam statusnya sebagai “Konseling Pendidikan” itulah memungkinkan adanya “Konseling Posmodern” ~ posisi konvergensi yang bisa sangat “miring ke kiri” (sangat membebaskan). Mustahil adanya “Konseling Posmodern” pada wilayah yang “miring ke kanan”, yang objektivistik-positivistik, mengandalkan ukuran-ukuran luar, external judgment. External judgment sangat berlawanan dengan ontologi dan epistemologi Posmodern. Rasanya sulit terjadi paduan “Behaviorisme-Posmodern”, bahkan janggal kalau ada yang namanya “Kognitive-Behavioral Posmodern”; jelas mustahil adanya “Inhibisi-Resiprokal Posmodern”, atau “Disiplin Formal Posmodern”.[9] Ancangan-ancangan Behaviorisme, Kognitif-Behavioral, Inhibisi-Resiprokal, dan Disiplin Formal, kesemuanya adalah ancangan-ancangan yang sangat kanan dalam Konseling Pikologis dari Modernitas. Ukuran-ukuran luar atau external judgment, seperti tes, inventori, dan skala-skala kepribadian, adalah roh-nya, betapapun itu digunakan secara terbatas oleh beberapa di antara ancangan itu.
Pada sisi lain, karena fenomena Konseling Posmodern, sebagaimana Konseling Modern, pada dasarnya adalah budaya dalam dirinya, dan Konseling Posmodern adalah gayut dengan “Pergerakan Kebudayaan” ~ mengusung spirit demokratisasi, pluralitas, dan multikulturalitas ~ semakin lama “Konseling Pendidikan” semakin condong ke kiri beradaptasi dengan kecenderungan budaya atau era mutakhir yaitu Posmodernitas. Hanya profesi yang menganut pembebasan dan membebaskan yang dapat “menangkap”, memahami, dan mengupayakan rekonstruksi secara revisioner. Ini menjawab pertanyaan mengapa “Konseling Posmodern” begitu perlu! Sederhananya, untuk menangkap kuda akan lebih aman dengan menunggang kuda. (Bayangkan bahwa gaya-hidup posmodern itu adalah “liar” dan tidak teratur; karenanya harus dibuat jinak sendiri dengan modus-kerja “liar” dan tidak teratur pula.)
Salah satu karakteristik budaya Posmodernitas adalah “pola-pola berpikir instan”, atau “orientasi jangka-pendek” (short-term orientation). Pola pikir instan atau orientasi jangka-pendek ini, jika berlebihan memang berbahaya. Manusia berkarakter orientasi



7
jangka-panjang dapat bersifat sabar “menanam sekarang dan memetik buah beberapa tahun kemudian, bahkan hasilnya dipetik di alam baka”, misalnya beribadah secara tekun untuk kelak masuk sorga (“long-term hedonic”). Manusia berkarakter orientasi jangka-pendek, short-term hedonic, memungkinkan menjadi teroris, “ngebom bunuh-diri saja, segera masuk sorga” (memangnya segampang itu?). Namun tidak semua orientasi jangka-pendek adalah berbahaya. Kepadatan kerja, tuntutan beban kerja dengan jadwal ketat, dalam mana sering terjadi “semua mengerjakan semua”,[10] adalah karakteristik tidak terpisahkan dari model kerja era Posmodern. Pekerjaan guru dan siswa di sekolah adalah prototipe era ini. Maka, “konseling sekolah satu sessi” (single session school-counseling) menjadi sah-sah saja adanya. Pada bagian inilah, kemudian, yang memungkinkan berpadunya “Konseling Posmodern” dengan “Konseling Singkat Berfokus-Solusi” atau “Solution-Focused Brief Counseling” (SFBC). Kita tahu, SFBC ini diwacanakan sebagai bersifat eklektik. Kalau begitu, mungkinlah jadinya SFBC berbagi sifat dengan Konseling Posmodern yang juga eklektik (disinggung serba singkat lagi di “tema-4” di bawah ini).

4. Tema-4: “Evolusi Kebudayaan” dan “Erosi Kebudayaan”
    Perlu dihadapi dengan “Revolusi Kebudayaan”

“Pendidikan Karakter” atau “B&K Bermisi  Pendidikan Karakter” atau “Konseling Pengembangan Karakter” atau “Character Building”, adalah tema-tema yang lagi booming, agak aneh rasanya. “Pendidikan Karakter” menjadi “booming” dan dinyatakan sebagai “misi baru”, “muatan baru”, atau “tema baru” pendidikan atau bimbingan. Pendidikan dan bimbingan dalam era kapanpun, di belahan dunia manapun adanya, dengan filosofi, teori, model, dan metode apapun, sepanjang itu bernama “pendidikan” atau “bimbingan”, tetaplah bertujuan pengembangan “karakter yang baik”. Bukankah “karakter” adalah suatu ciri umum? Bukankah ia adalah kualitas netral? Bukankah itu bisa buruk dan bisa baik? Jika niat suatu upaya sadar adalah untuk menciptakan pribadi-pribadi eksploitatif-penimbun maka itu bukan pendidikan melainkan pengajaran saja; itu bukan bimbingan melainkan cuci-otak semata. Dalam tujuan umum pendidikan nasional suatu bangsa/negara, “karakter baik” dikemas dengan terminologi berbeda-beda: “berkepribadian Pancasila”, “berpribadi takwa”, “berwatak pejuang”, “identitas nasional”, dan seterusnya, dengan kualitas khusus yang beragam:  warga-negara terpuji (sitizenships), bertakwa



8
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi-pekerti luhur, being mode, gotong-royong, kasih-sayang, cinta-damai, ikhlas, dan seterusnya.
Di situlah soalnya. Beberapa fenomena berikut disebut-sebut sebagai pemicu ramainya pembicaraan pendidikan karakter akhir-akhir ini. Pemikir bangsa terkejut mendapati pendidikan gagal(?) membentuk pribadi MIS (Manusia Indonesia Seutuhnya) atau yang bertakwa, gagal menciptakan karakter “being mode” (bergotong-royong dan bersatu-padu) atau jauh dari matriarkis melainkan sangat patriarkis dan eksploitatif-penimbun. Fenomena lainnya bahwa identitas nasional dan identitas etnis atau identitas religius serta bahkan identitas seksual kebanyakan remaja kita menjadi kabur, serta kebanyakan mereka jauh dari kemampuan kelola-diri (bagaimana menghindari kesurupan, bagaimana mencegah diri terlibat perkelahian massal, bagaimana menghindar dari seks bebas). Telah terjadi “Evolusi kebudayaan”, bahkan “Erosi Kebudayaan”. Melalui dukungan kecanggihan teknologi komunikasi, bombardir media massa bermuatan iklan, yang bergandeng-tangan dengan kapitalis, “evolusi kebudayaan” telah berhasil melakukan proses “politik identitas”.[11] Dapat dikatakan bahwa informasi bermuatan pendidikan telah kalah bersaing dengan informasi bermuatan “politik identitas”. Dalam konteks sosial itu, masih dapatkah diandalkan upaya sadar yang bernama “Pendidikan”?
Jawabannya, tentu masih dapat, atau harus dapat diandalkan, namun harus gayut dengan muatan budaya ~ meskipun sudah berpisah kementerian pendidikan dengan kementerian kebudayaan. Secercah harapan ada dalam “Pergerakan Kebudayaan” (Cultural Movement). Pergerakan kebudayaan mengusung spirit demokratisasi, pluralitas, dan multikulturalitas. Pergerakan kebudayaan, karena itu, melahirkan Konseling Lintas-Budaya (Trans-Cultural Counseling) atau Konseling Silang-Budaya (Cross-Cultural Counseling), dan kini gerakannya dalam bentuk Konseling Multibudaya (Multicultural Counseling). Pembelajaran konseling terkait atau bermuatan budaya, apapun kekhususan nama matakuliahnya menjadi sangat sentral di sini, dan karenanya sangat perlu ditopang dengan lebih banyak lagi penelitian setempat, misalnya Penelitian Pengembangan atau PTK.[12] Kesemua tipe konseling dalam wacana pergerakan kebudayaan ini longgar dijalankan dengan menggunakan perspektif eklektik ~ entah technical eclecticism, problem-oriented eclecticism, in-procedures eclecticism, ataupun systematic eclecticism.[13]
Namun, untuk mempercepat kebermaknaan Konseling Posmodern (untuk Revitalisasi dan pewarisan budaya unggul nusantara), agaknya tidak cukup lagi dengan



9
sekedar “Pergerakan Kebudayaan” yang nota-bene adalah adopsi dari “Pergerakan Barat” juga. Rasanya sudah diperlukan “Revolusi Kebudayaan”.

5. Tema-5: Konseling Posmodern adalah Senjata
    dalam “Revolusi Kebudayaan”
“Revolusi Kebudayaan” hanya dapat dilakukan dengan pendidikan kritis. Pendidikan kritis dipersyarati dengan kesadaran akan keunikan dan keunggulan nilai budaya sendiri, kesadaran telah berlangsung “politik identitas” yang merusak sendi-sendi kepribadian bangsa > memupuskan karakter nasional > mengaburkan identitas etnis dan religius bahkan mengaburkan batas-batas identitas seksual > melemahkan konsep-diri. Pendidikan kritis selanjutnya mengagendakan kepekaan budaya dan berlanjut dengan pelatihan kompetensi budaya. Pendidikan kritis, pada akhirnya, memberdayakan “manusia tertindas” (selama ini telah menjadi objek “politik identitas”) untuk bangkit menjadi pemikir praksis sampai pada praksis level 5 ~ mengagendakan perubahan diri dan perubahan sosial sesuai dengan kayakinan konstruktif dari budaya unggulnya (kearifan lokal).[14] Apakah konseling posmodern mampu membawa beban agenda ini? Bukankah Konseling Posmodern dapat semakin memperkuat diri dengan menumpang pada pergerakan kebudayaan yaitu spirit demokratisasi, pluralitas, dan multikulturalitas?
Dalam wahana konseling, Revolusi Kebudayaan ditandai dengan memasukkan nilai-nilai budaya nusantara kedalam media bimbingan dan konseling.  Harus diakui bahwa kemurnian, keefisienan, dan keefektifan unsur-unsur makro dan mikro B&K Indonesia adalah minim bukti empirik. Dalam tataran unsur-unsur makronya, misalnya, soal rumusan landasan filosofis adalah perlu yang khas B&K Indonesia, selain tiruan dari B&K Barat. Sepanjang penelusuran, masih sedikit penteorian B&K khas budaya setempat, berbasis kearifan lokal. Beberapa di antara kita berhasil menyusun, menguji, dan mempertahankan (dalam sidang ujian disertasi atau tesis) sebuah model B&K tertentu yang bagus, namun tidak banyak yang didesiminasikan, dipublikasikan, dan diperjuangkan hak ciptanya. Sungguh sangat disayangkan. Sangat bermanfaat sekiranya model-model yang bagus itu terus dikembangkan dan tidak berhenti hanya sampai pada penyelesaian studi.. Begitupun unsur-unsur mikronya, misalnya: apakah empat unsur bimbingan komprehensif adalah konstruksi budaya sendiri? Mari kita perhatikan “empat unsur B&K kita, yaitu pelayanan dasar, perencanaan individual, pelayanan responsif, dan dukungan sistem”. Sepertinya, penyusun keempat unsur bimbingan itu menganut



10
posmodern dengan konstruktivisme sosial dan bertolak pada musyawarah-mufakat, atau kesepakatan (konsensus-kontekstual)? Namun, karena tanpa basis riset nasional rumusan itu menjadi bersifat top-down sebagai ciri khas modernitas. Referensi yang umumnya muncul hanyalah idiom-idiom bahasa asing, misalnya, “four elements of school guidance” yaitu “guidance curriculum, individual planning, responsive services, and system support”. Bukankah itu tiruan dari konsepsi Barat? Pada tataran lainnya, apakah nuansa keperluan asesmen otentik yang mendasari penyusunan program B&K adalah pola kerja budaya nusantara? Atau itu tiruan pula dari praktik Barat? Apakah kita memang lebih suka meniru karya pemegang otoritas (gaya modern) daripada mengonstruksi sendiri menurut setting dan konteks keberadaan kita, atau hasil-hasil penelitian dan konstruksi dan penteorian kita sendiri (gaya posmodern)?[15]
Lebih mikro lagi, sebelas aspek kemandirian peserta didik ~ dari pengembangan/kemandirian landasan hidup religius (aspek 1) sampai dengan kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga (aspek 11) dengan peniadaan aspek ke-11 untuk tingkat pendidikan dasar ~ tampaknya sangat Indonesia sekali. Di sini memang kurang tampak “peniruan Barat”-nya, terutama kalau diperhatikan kandungan tiap tatatan internalisasi/tujuan tiap aspek. Nilai sosial budaya Indonesia banyak dipertimbangkan.[16] Akan tetapi apakah semuanya disusun dengan perspektif modern ataukah perspektif posmodern? Atau, disadarikah oleh (tim) penyusunnya keberadaan/ketiadaan perspektif di dalamnya? Apakah 11 aspek “Standar Kemandirian Peserta Didik” itu ditawarkan sebagai bagian dari kurikulum dasar B&K? Ataukah isi pokok program B&K? Ataukah semuanya hanyalah bahan penggugah inspirasi para konselor di lapangan? Jawaban yang diberikan menunjukkan posisi kita: modern ataukah posmodern.
Langkah lebih tajam perlu lebih banyak lagi diupayakan untuk secara kongkret dilakukan revitalisasi dan pewarisan nilai budaya unggul nusantara ke dalam Bimbingan & Konseling.[17] Untuk ini diperlukan lebih banyak lagi media bermuatan nilai sosial budaya unggul nusantara untuk dapat digunakan di dalam Konseling Posmodern.[18] Konseling Posmodern perlu dibuat ampuh dengan “enersi” berupa muatan budaya unggul nusantara. Dengan begitu, Konseling Posmodern dapat dijadikan senjata dalam Revolusi Kebudayaan.



11
III. Konseling Posmodern:
Ajakan Membuat Refleksi Menuju Solusi


Telah disodorkan ungkapan-ungkapan provokatif sejak bagian I dan dielaborasi dalam Bagian II di depan. Sifat paparan ini memang bahan “bacaan orang dewasa”, kajian “30 tahun ke atas”. Meskipun telah diusahakan dipaparkan secara gamblang, mungkin masih banyak bagian yang membuat kita berkerut kening. Jika demikian, itu gejala bagus untuk forum diskusi. Bagian akhir ini berisi ajakan membuat refleksi, bahan diskusi, menuju solusi.

1. Tema-1: Konseling Posmodern adalah Pembebasan
a. Yakinkah kita bahwa “kebebasan” dan “pembebasan” sebagai prasyarat multak Konseling Posmodern? Jika “Ya”, mengapa yakin? Jika “Tidak”, mengapa pula?
b. Kendala-kendala pribadi/profesional yang manakah yang dapat menghambat kita berkeyakinan “kebebasan” dan “pembebasan”?

2. Tema-2: Posmodern Tetaplah Mengandalkan Internal Judgement
a. Yakinkah kita bahwa internal judgement adalah modus-kerja andalan Konseling Posmodern?  Jika “Ya”, mengapa yakin? Jika “Tidak”, mengapa pula?
b. Kendala-kendala pribadi/profesional yang manakah yang dapat menghambat konselor bekerja dengan modus internal judgement?

3. Tema-3: Konvergensi Boleh Saja “Miring ke Kiri”
a. Jika Konseling berkeyakinan “miring ke kiri” maka itu adalah “Konseling Pendidikan”, jika “miring ke kanan” maka itu adalah “Konseling Psikologis”. Bagaimana pula keyakinan kita masing-masing?
b. Mungkinkah orang-orang yang dalam batinnya berniat merubah orang (konselor pada umumnya) dapat menghargai tanpa-syarat konstruksi-konstruksi klien yang berkecenderungan destruktif (atau, dengan kata lain, mampukah konselor bersikap “miring ke kiri”)?



12

4. Tema-4: “Evolusi Kebudayaan” dan “Erosi Kebudayaan”
    Perlu dihadapi dengan “Revolusi Kebudayaan”

a. Bagaimana penghayatan kita masing-masing mengenai fenomena “Evolusi Kebudayaan” dan “Erosi Kebudayaan” dalam era Posmodern?
b. Yakinkah kita dengan kemampuan “Pergerakan Kebudayaan” tanpa “Revolusi Kebudayaan” dalam revitalisasi dan pewarisan nilai-nilai bangsa? Adakah jalur lainnya? Sekiranya ada, apakah dan bagaimanakah jalur lainnya itu?

5. Tema-5: Konseling Posmodern adalah Senjata
    dalam “Revolusi Kebudayaan”
a. Diyakini, agar Konseling Posmodern (juga bimbingan, tentu saja) dapat diandalkan dalam “Revolusi Kebudayaan” haruslah bermuatan nilai-nilai budaya unggul nusantara. Adakah keraguan dalam hal ini? Jika “Tidak ada”, apa yang membuat kita yakin? Jika “Ada keraguan”, seperti apa dan dalam hal apakah keraguan itu?
b. Misi “Revolusi Kebudayaan” adalah percepatan penataan karakter anak-anak bangsa. Penelitian dan kajian budaya terkait konseling sudah cukup banyak dilakukan orang. Apa dan bagaimana lagi kira-kira yang perlu kita lakukan dalam mempercepat “Revolusi Kebudayaan” dengan senjata berupa Konseling Posmodern?






[1] Ciri-ciri “modern” dari semua ancangan konseling tampak pada tujuan umum konseling. Periksa, Andi Mappiare-AT., Pengantar Konseling dan Psikoterapi (Jakarta: Rajawali Pers, Edisi Kedua, 2010: 45-59; 135-169).
[2] Kajian cukup lengkap dengan publikasi terbatas mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Andi Mappiare-AT., “Optimalisasi konsep-Diri dan Kelola Diri dalam Era Posmodern”, Makalah ditampilkan dalam acara Seminar dan Dialog Interaktif oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (Senin 11 September 2000).
[3] Kajian lebih lengkap dengan publikasi agak luas mengenai posmodern dan bimbingan & konseling dapat dilihat dalam Andi Mappiare-AT., “Nilai Posmodern dan Bimbingan Konseling Sosial-Pribadi: Penegasan Konsep-Diri dan Optimalisasi Kelola-Diri Remaja”. Pendidikan Nilai: Kajian Teori, Praktik, dan Pengajarannya  (Thn 14, No. 2, Nov. 2007: 101 – 111).
[4] Andi Mappiare-AT., Pengantar Konseling dan Psikoterapi, op.cit., 141-142.
[5] Cinta yang paling dasar sampai cinta taraf paling tinggi adalah memerlukan enersi. Sederhananya, untuk bisa secara bermakna menyintai pasangan hidup seseorang harus sehat atau memiliki enersi, memiliki materi; begitupun realisasi cinta terhadap Tuhan, semua perlu cost. Namun bagi Posmodern Konstruktif, materi tetaplah alat, bukan tujuan.
[6] Periksa pula beberapa konsep dan tokoh terkait, misalnya, pada Andi Mappiare-AT., Kamus Istilah Konseling dan Terapi (Jakarta: Rajawali Pers, 2006).
[7] Upaya-upaya penegasan konsep karakter, identitas, dan self, pernah diabstraksikan dan diulas penteoriannya dalam perspektif teori sosial kritik (Fromm), interaksionisme simbolik (Mead), dramaturgi (Goffman), dan strukturasi (Giddens), dalam Mappiare-AT., Identitas Religius di Balik Jilbab: Perspektif Sosiologi Kritik (Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, UM Press, 2009) ~ modifikasi struktur dari Laporan Penelitian untuk Disertasi.
[8] Bimbingan & Konseling (B&K) memiliki tiga status yang disandang bersamaan, yaitu disiplin ilmu (kajian), bidang profesi, dan struktur atau pranata. Tidak ada soal dalam dirinya sendiri (B&K) pada ketiga status itu. Serentetan soal bahkan problematika segera muncul ketika manusia (komunitas) yang ada di dalamnya hendak mengafiliasikan diri, mengidentikkan diri secara sadar, yaitu apa identitas keilmuan (profesinya)?: Ilmu Pendidikan (pendidik)? Psikologi (psikolog)? Sosiologi (konselor atau pekerja sosial yang altruistis)? Konseling adalah teknik andalan bimbingan, jantung-hati bimbingan. Konseling kita adalah terikat dalam bimbingan dan karenanya penulis lebih memilih simbol Bimbingan & Konseling daripada  Bimbingan dan Konseling. Simbol “& adalah lilitan tali yang menempatkan Bimbingan sebagai pengikat Konseling. Konseling adalah terikat di dalam Bimbingan. Tegasnya, konseling kita bukanlah sekedar hanya sebagai satu teknis saja dari psikologi. Apakah kita bangga jika ada yang berkata bahwa “sesungguhnya konseling adalah lebih besar dari bimbingan”? Hati-hatilah! Apakah kita bangga jika ada orang yang mewacanakan bahwa “tes sesungguhnya terutama digunakan dalam konseling bukan dalam psikologi lainnya”? Super hati-hatilah!!! Sadarkah kita bahwa “konseling” adalah area perebutan? Ada “Politik Identitas” di sini.
[9] Ini ditulis dengan penuh kesadaran mengenai sifat dari konstuktivisme psikologis dan konstruksionisme sosial yang melekat pada posmodern: sesuatu yang sekarang janggal bahkan mustahil, jika dikonstruksikan secara menerus maka akan menjadi wajar dan pantas rasanya pada suatu saat kelak.
[10] Jika jadwal ketat adalah terkait dengan spesialisasi dan diferensiasi kerja maka itu adalah karakteristik dari modernitas, namun jika jadwal ketat dan kepadatan kerja sebagai konsekuensi dari “semua menggarap semua” maka itu adalah “pembawaan” posmodernitas. Tidak jarang kita mendengar pernyataan seperti: “Memberantas korupsi itu tanggungjawab kita semua”, atau “Pendidikan karakter adalah misi kita semua”, atau “Kita harus bekerja sama menanggulangi bencana alam”, atau “Kita perlu bahu-membahu memberantas kemiskinan”, dst., dst. Tidak salah, tapi itulah budaya kita. Dari segi ini, dari dulu juga kita berciri posmodern ~ semua menggarap semua, tanpa spesialisasi dan diferensiasi.
[11] Keberadaan fenomena ini diperkuat dukungan hasil penelitian pada tahun 2007 di Banda Aceh, Surabaya, dan Makassar. Publikasi luas, periksa, Andi Mappiare-AT., Abd. Syukur Ibrahim dan Sudjiono , “Budaya Konsumsi Remaja-Pelajar di Tiga Kota Metropolitan Pantai Indonesia”. Jurnal Ilmu Pendidikan (Jilid 16 No.1, Februari 2009: 12 – 21).
[12] Upaya yang dilakukan oleh penulis masih sedikit dalam hal ini, baru ada hanya satu penelitian. Lihat, misalnya, Andi Mappiare-AT., dan Ella Faridati-Zen, “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis TIK Matakuliah Konseling Multibudaya untuk Peningkatan Kepuasan Belajar, Partisipasi dan Prestasi Belajar Mahasiswa” (Laporan Teaching Grant, Jurusan Bimbingan dan Konseling dan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, 2009). Ini menghasilkan draf Buku Ajar dengan rancangan judul “Konseling Multibudaya: Orientasi Praksis” (Modul Kolabortif, Bahan Ajar Matakuliah Konseling Multibudaya).
[13]Istilah-istilah ini dan lain-lainnya dapat ditemukan penjelasannya dalam Andi Mappiare-AT., Kamus Istilah Konseling dan Terapi, loc.cit.
[14] Konsepsi umum “praksis” (praxis) telah diabstraksikan dalam Andi Mappiare-AT., Dasar-Dasar Metodologi Riset Kualitatif untuk Ilmu Sosial dan Profesi. (Surabaya: Penerbit Jenggala Pustaka Utama bersama FIP UM, 2009: xiii). Diabstraksikan bahwa praksis adalah suatu konsepsi mengenai keterkaitan teori-praktik, yang aslinya dari Karl Marx, digunakan oleh Maxian, teori kritik, interaksionisme simbolik bernuansa kritik, feminisme dan posmodern. Ada lima tataran aktivitas praksis seutuhnya yang mungkin dilakukan seseorang: (1) menyusun teori dari aktivitas praktis yaitu memaknai dan mengabstraksikan fenomena sehari-hari; (2) menerjemahkan teori yang abstrak ke dalam rumusan praktis yaitu mengembalikan suatu abstraksi teori menjadi deskripsi dan contoh kongkret misalnya dalam komunikasi ilmiah; (3) mempraktikkan teori yang diyakininya yaitu melaksanakan aktivitas profesi berdasarkan teori khas yang dianutnya; (4) mensenyawakan teori dengan praktik yaitu menguji validitas teori dengan praktik dan menguji praktik dengan teori; dan (5) menerapkan teori untuk perubahan sosial yaitu terlibat dalam aktivitas sosial sehari-hari dalam mana seseorang menjalankan agenda perubahan sosial. Aktivitas riset kualitatif melibatkan kelima tataran itu seutuhnya.
[15] Satu upaya kecil pernah dilakukan, publikasi dari sebuah penelitian sederhana, untuk mendorong koreksi atas konsepsi unsur-unsur makro, mikro, dan muatan B&K kita. Lihat, misalnya, Andi Mappiare-AT., “Corak Bimbingan Konseling, Pertimbangan Sosial Budaya dan Tekno-Media Memandirikan Siswa”. Teknologi Pendidikan: Jurnal Teori dan Praktik (Tahun 21, Nomor 1, Mei 2009: 16 – 32).
[16] Pernah dilakukan Penelitian Hibah Besaing 3 tahun berturut-turut dengan tema “Kultur Konsumsi Remaja dan Upaya Bimbingannya: Studi Perspektif Posmodern mengenai Pembelanjaan Pelajar dalam Kota Metropolitan Pantai Indonesia untuk Pengembangan Media Bibliokonseling”. Melalui penelitian multiyear ini diproduksi media bimbingan konseling bermuatan budaya atau kearifan lokal berupa Novel (2007), Komik (2008), dan Media Bergambar (2009). Publikasi luas konsep dan proposisi temuan dapat diperiksa kembali pada Andi Mappiare-AT., Abd. Syukur Ibrahim dan Sudjiono, loc.cit., 2009. Juga dapat dilihat pada Andi Mappiare-AT., Fachrurrazy, dan Sudjiono, “Kecakapan Belanja Siswa, Kearifan Kultural, dan Media Bimbingannya”. Jurnal Ilmu Pendidikan (Jilid 17 No.3, Oktiber 2010: 178 – 188).
[17] Desiminasi awal hasil sebuah penelitian budaya telah dicoba dilakukan, periksa, Andi Mappiare-AT., “Revitalisasi dan Pewarisan Nilai Budaya Unggul Nusantara Melalui Media Bimbingan dan Konseling” Conference Proceeding, Konferensi Nasional Assosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia, Tema “Peran Pendidikan dalam Pembangunan Karakter Bangsa” di Malang, (Tgl. 16 – 17 Oktober 2010: 132 – 147).
[18] Penelitian level Hibah Kompetensi telah dilakukan dalam mengungkap nilai sosial budaya unggul nusantara untuk menjadi muatan bimbingan konseling, di antaranya, Andi Mappiare-AT., Pengembangan Media Bergambar Berbasis Keunggulan Budaya Nusantara untuk Bimbingan Kemandirian Siswa Sekolah Menengah: Dimensi Karir (2010), dengan produk  “Media Pengembangan Perilaku Kewirausahaan atau Kemandirian Perilaku Ekonomis untuk SMA/SMK/MA” (Aspek 8) dan “Media Pengembangan Wawasan dan Kesiapan Karir untuk SMA/SMK/MA” (Aspek 9).

 
© Andi Mappiare-AT Blogspot Tutorial