Kamis, 18 April 2013

Konseling Bidang Akademik


Tema Pembahasan Model Konseling KIPAS

Karakter
Identitas
Pekerjaan
Akademik
Sosial

Konseling Tema Akademik
dan Belajar Siswa:
Fokus pada “AKADS:

Oleh:
Andi Mappiare-AT


Akademik sebagai tema pembahasan dalam konseling meliputi banyak dimensi belajar (studi), terutama tujuan dan strategi belajar, potensi dan realisasi, pendukung dan penghambat. Di dalam dimensi-dimensi itu memungkinkan dibahas, misalnya, sikap dan emosi terkait belajar, ketepatan arah belajar, keterampilan cara dan kebiasaan belajar, aset-aset dalam belajar seperti kelengkapan, peluang, dan banyak lagi faktor lain yang terkait belajar. Dalam keperluan deskripsi pembahasan tema akademik dalam konseling, diperlukan pengelompokan paparan yang mudah diingat. Dengan maksud itu, semua unsur dalam urusan akademik siswa dalam konseling dapat dikelompokkan menjadi lima subtema AKADS yaitu: 1). Afeksi belajar meliputi  yang sangat khusus atau mendalam dan yang sangat umum atau permukaan; 2). Kognisi/pemikiran yaitu makna-makna pribadi siswa meliputi pemahaman, akomodasi; 3). Aksi dan akuisisi (acquisition) belajar meliputi tindakan belajar, produk atau hasil (fakta) belajar dan penggunaan hasil belajar sebagai balikan (feedback); 4). Daya tarik tujuan menyangkut intensionalitas yaitu kesadaran diskursif atas tujuan; dan 5) Strategi belajar meliputi metode, keterampilan, dan kebiasaan belajar.
1). Afeksi terkait belajar dapat diidentifikasi dari yang sangat khusus (mendalam) sampai yang sangat umum (permukaan): cemas atau uforia, tertekan atau terdukung, tegang atau santai, susah atau gembira, rasa bersing atau rasa senasib-seperjuangan, rasa diharapkan atau rasa tidak diharapkan. Ekspresi dan konsekuensi dari afeksi-afeksi itu bisa jelas-spesifik dan bisa pula umum dan menggeneralisasi. Ekspresi dan konsekuensi yang jelas-spesifik dapat dipelajari dalam sumber-sumber khusus.[1] Afeksi-afesi umum dapat menyangkut kemauan, kesiapan, dan rasa percaya-diri. Konselor yang inspiratif dapat mengenali ekspresi hasil generalisasi dari afeksi-afeksi demikian. Misalnya, para siswa yang lebih tekun pada aktivitas ekstra, mungkin sebagai bentuk mekanisme pertahanan atau pelarian dari kurang kesiapan belajar akademik, mekanisme penghindaran ~ suatu ekspresi menggeneralisasi. Konsekuensi menggeneralisasi dapat meluas ke imaji-imaji bahwa banyak teman yang menyontek dan mendapat angka-nilai baik, sementara yang tekun belajar malahan lebih rendah angka-nilai raport-nya. Semua ekspresi dan konsekuensi dari afeksi terkait belajar yang tidak favoribel adalah fungsi-fungsi dari sensasi, imaji, dan keasyikan (engagement) yang sangat sensitif pada orientasi (objek) yang tidak seharusnya.
Urusan pokok pertama siswa dalam subtema afeksi terkait akademik ini adalah lebih pada ketepatan sasaran/tempat ekspresi dari afeksi-afeksi itu dibandingkan pada ada atau tidaknya afeksi itu. Urusan kedua, dalam hal ini, setelah ekspresinya secara tepat sasaran  adalah intensitasya yaitu kekuatan ekspresi dari afeksi itu. Suatu ekspresi afeksi secara tepat sasaran dan pada intensitas yang sepantasnya (apprioriate)  akan dapat mendukung belajar akademik. Kecemasan, sebagai contoh, jika sasarannya pada substansi yang jelas, kongkret, riel, dengan intensitas menengah akan dapat menjadi kondusif bagi belajar; dibandingkan jika kecemasan itu tidak riel dan  intensitas yang mendalam. Begitupun dengan uforia, contoh lain, dapat saja efektif ~ penguat percaya-diri ~ untuk belajar lanjut jika pada sasaran riel yaitu prestasi dan pada saat perayaan (celebrate).  Belajar dalam rasa tertekan tidaklah selalu buruk jika dialami berkenaan dengan waktu penyelesaian tugas dan kadar sedang, sehingga dapat membuat terkerahkannya potensi-potensi  ekstra baik fisik maupun psikis. Rasa tegang (tensi) yang cukup adalah diperlukan untuk belajar giat pada tugas-tugas rumit yang telah dipelajari, khususnya untuk menggugah kondisi prima pada cerebration atau act of thinking, sebagaimana rasa santai diperlukan menghadapi tugas-tugas yang sedang-sedang dalam kondisi waktu cukup. Demikian dengan afeksi-afeksi lain terkait belajar.
Peran utama konselor dalam pembahasan subtema afeksi terkait belajar akademik ini adalah melatih siswa untuk melakukan pengaturan-diri, self-regulated. Pengaturan-diri itu memungkinkan siswa terampil mengatur ekspresi semua afeksinya terkait aktivitas belajar akademik pada sasaran/tempat dan kadar yang sepantasnya (appriopriate).  Suatu tindakan preventif atas ekspresi afeksi adalah sangat perlu dilakukan yaitu menghindari terjadinya sensitivitas afeksi yang berlebihan. Banyak pula terjadi “sensitif simpang orientasi” dalam afeksi terkait akademik ~ misalnya, persaingan dan kecemburuan yang berlebihan, kecemasan yang tidak realistis, sikap dengki dan iri-hati, dan semacamnya. Sensitivitas demikian ini mendorong siswa untuk berani melakukan kecurangan-kecurangan akademik demi mendapatkan “kemenangan” bidang akademik. Ini secara khusus mengisyaratkan konselor, antara lain, perlu mengagendakan modifikasi konseli dari keadaan “sensitif simpang orientasi” untuk terbarukan menjadi “sensitif pada norma/nilai”.
2). Kognisi/pemikiran terkait belajar meliputi makna-makna pribadi subjek belajar. Ini mencakup pemahaman dan akomodasi, serta konstruksi-konstruksi khusus terkait posisinya sebagai Pelajar. Kondisi ideal dimiliki oleh sejumlah siswa mengenai posisinya yaitu pemikiran bahwa posisi selaku Pelajar adalah suatu keniscayaan di usia muda-belia. Bersekolah adalah kewajiban bagi semua pemuda; suatu kewajiban yang datang dari dalam diri sendiri, bukan kewajiban yang ditugaskan oleh masyarakat. Bersekolah bukanlah tugas-tugas perkembangan dari pemerintah atau masyarakat, melainkan tugas yang muncul dari “proses-proses kognitif” yang memang matang dan haus untuk diisi dengan pengetahuan, strategi pemerolehan pengetahuan, keterampilan pemacahan masalah, dan kecakapan hidup sendiri dan hidup bersama.[2] Para siswa yang memiliki dan mengakomodasi pemikiran semacam ini akan menempatkan kegiatan belajar (studi) bukan sebagai tugas, melainkan sebagai kewajiban dari dalam. Lebih ideal lagi, “belajar adalah ibadah”.
Tidak sedikit sekolah, umumnya disebut “Sekolah Favorit”, yang memiliki banyak siswa dengan pemahaman dan akomodasi demikian itu. Itu mungkin bersumber dari budaya warisan dari orangtuanya ~ telah terjadi pewarisan kearifan lokal baik secara sistematis maupun natural.[3] Dapat pula terjadi itu semua berasal dari para pendidik dan Konselor sekolah yang berhasil mewariskan konstruksi-konstruksi semacam “Tidak akan pernah terjadi malaikat datang memikul rizki bagiku selain dari usahaku sendiri”. Ini memiliki fungsi sama dengan ungkapan dalam pepatah klasik “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.
Pada lain sisi, masih berkenaan dengan kognisi/pemikiran terkait belajar, adalah konstruksi-konstruksi pribadi tidak layak terkait dengan aktivitas belajar seseorang siswa. Fenomena yang mengindikasikan keperluan modifikasi dalam hal konstruksi-konstruksi tidak layak di sini bisa mencakup rasa enggan belajar, kegiatan belajar yang tidak fokus, menghabiskan waktu untuk mengkhayalkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, menganggap diri akan sukses dan lulus dengan hanya menebak-nebak jawaban dalam ujian. Lebih luas lagi, ini mencakup pimikiran yang ada di balik pemaksaan diri memasuki program studi atau jurusan yang tidak sesuai dengan bakat dan potensi umum. Kemungkinan konstruksi yang menyertainya adalah kesan-kesan bergengsi suatu program studi atau, sebaliknya, karena suatu program dianggap lebih mudah dan kurang menuntut belajar akademik secara giat untuk bisa berhasil. Konselor dalam hal ini dapat memokus pada “urusan-inti” konseli dengan menelisik kemungkinan adanya “assosiatif-berlebihan” dalam mana konselor mengagendakan modifikasi ke arah kompetensi “analis-aktif dan realistis” pada konseli.
3). Aksi (tindakan) belajar atau perilaku meliputi produk atau hasil (fakta) belajar dan penggunaan hasil belajar sebagai balikan (feedback). Secara singkat, ini dapat dilabelkan dengan “Aksi dan akuisisi (acquisition) belajar”. Subtema fakta hasil belajar meliputi status hasil belajar seorang siswa dalam kelompok, keterkaitan potensi belajar dan prestasi-riel, serta pemanfaatan hasil belajar oleh siswa/konseli. Kedudukan atau status seorang siswa dalam kelompok umumnya diolah oleh para Guru Matapelajaran dan disatupadukan oleh para Wali Kelas. Pada lain segi, potensi belajar umumnya memang melibatkan kecerdasan umum dan kecerdasan khusus atau bakat siswa. Namun dalam hal ini, potensi-potensi belajar itu perlu dibandingkan dengan capaian atau akuisisi (acquisition) belajar. Dari segi hasil olahan status siswa dalam kelompok serta capaian belajar dibandingkan dengan potensi belajar dapat ditemukan kondisi siswa yang dinamakan “prestasi di bawah kemampuan” atau “under-achiever” dan “prestasi di atas kemampuan” atau “over-achiever”. Dari segi pembandingan hasil belajar dari kesempatan satu dan kesempatan berikutnya dapat ditemukan kondisi-kondisi siswa dengan “percepatan yang semakin menurun” atau “negative-accelerated”; “percepatan bergelombang membentuk kurve S” atau “S-curve accelerated”; dan “percepatan yang semakin menaik atau “positive-accelerated”. Itu semua dapat disebut singkat sebagai “kondisi-kondisi belajar” siswa.
Urusan besar siswa dengan bantuan konselor dalam hal ini adalah mengetahui dan menyadari “kondisi-kondisi belajar” itu, menerima atau mengakomodasikannya, kemudian mengarahkan diri melalui tindakan belajar yang efektif. Peran pertama konselor sudah barang tentu adalah menyediakan data atau bahan informasi skematis mengenai  “kondisi-kondisi belajar” tiap siswa dalam asuhannya. Untuk itu konselor perlu memiliki data prestasi akademik dan data hasil tes kemampuan umum, kemampuan khusus atau bakat setiap siswa yang diperoleh dari tiga kemungkinan sumber terpisah: (1) hasil olahan para Guru Matapelajaran dan Wali Kelas; (2) hasil olahan petugas ahli psikologi pendidikan dan Tata-Usaha BK pada Laboratorium BK; dan (3) hasil olahan konselor sendiri. Diharapkan ketiga rumpun profesi tenaga kependidikan ini berkolaborasi, sebagai  Tim BK, dalam pengolahan data sebagai bahan informasi “kondisi-kondisi belajar” para siswa, dan bahan pengambilan keputusan berbasis data secara kolaboratif (“data-based decision making”)[4], khususnya dalam membantu siswa.
Peran kedua konselor dalam urusan ini adalah menafsirkan “kondisi-kondisi belajar” siswa sebagai bahan informasi yang relatif matang untuk menjadi bahan balikan atau “feed-back”  yang dapat dimanfaatkan secara layak bagi arah-diri dalam belajar setiap siswa. Pada semua pembahasan aksi (tindakan) belajar atau perilaku belajar konseli ini, “urusan-inti” konseli adalah memanfaatkan potensi “intelijen/cerdas berpikir kritis”. Peran konselor adalah dapat mencaritemukan kemungkinan adanya “intelektual terpendam dan tersia-siakan” (sebagai “aset-terabaikan”) pada konseli yang entah untuk dikembangkan ataupun ditingkatkan menjadi lebih baik lagi dengan agenda konseling mengarahkan konseli pada kualitas yang disebut  “intelijen/cerdas berpikir kritis”.
4). Daya tarik tujuan menyangkut kesengajaan atau intensionalitas yaitu kesadaran diskursif atas tindakan belajar baik pada masa kini maupun untuk masa depan menurut arah yang jelas. Keberadaan intensionalitas atau kesengajaan secara sadar ini menjamin kejelasan arah belajar dan ketepatan tindakan belajar. Intensionalitas seseorang atas suatu kegiatan memberikan sumbangan positif yang sangat nyata bagi keefektifan seseorang dalam kegiatan itu. Tujuan belajar (studi) yang terlalu umum adalah kurang memiliki daya tarik bagi seseorang untuk mau belajar. Dengan kata lain tujuan yang masih sangat umum adalah kurang menggugah motivasi belajar. Oleh karena itu, para siswa perlu membuat jadi kongkret tujuan jangka panjang  (misalnya, untuk menjadi sarjana), menjadi tujuan-tujuan antara (misalnya, tamat SMA yang sekarang dengan prestasi layak memasuki perguruan tinggi dalam jalur “tanpa tes umum”. Tujuan-tujuan antara ini akan menjadi lebih efektif jika dipilah-pilah lagi menjadi tujuan-tujuan lebih spesifik, misalnya lulus Matapelajaran Matematika dengan nilai minimal 9, lulus Matapelajaran Biologi dengan nilai minimal 8, dan seterusnya.
Tentu saja, peran konselor dalam hal ini membantu siswa mulai dari program perencanaan pendidikan masa depan, penjabaran tujuan-tujuan umum sampai pada tujuan-tujuan belajar yang kongkret. Lebih khusus, konselor secara priventif dapat membantu siswa menjadi lebih kompeten dalam “analis-aktif ke arah abstraksi logis dan realistis” dan mencegah adanya “assosiatif-berlebihan, abstrak-berlebihan, menghindari fakta dan realitas” pada siswa. Tindakan kuratifnya sudah barang tentu adalah konselor membantu konseli dari kondisi tersebut terakhir menjadi kompeten dalam “analis-aktif ke arah abstraksi logis dan realistis.
5). Strategi belajar mencakup keterampilan, dan kebiasaan belajar. Dalam belajar terdapat pilihan-pilihan metode yaitu “part-method” dan “whole-method”. Part-method” artinya belajar bagian dengan mempelajari bahan secara penggalan-per-penggalan; sementara “whole-method” artinya belajar keseluruhan, tanpa pembagian atas penggalan-penggalan. Subjek yang tidak terlalu cerdas akan lebih sukses memilih part-method”; sementara subjek dengan kecerdasan baik akan lebih sukses belajar dengan “whole-method”. Namun demikian, tahapan belajar juga menentukan dalam mana “whole-method” lebih favoribel pada awal belajar sesuatu dan belajar tahap lanjut lebih favoribel dengan “part-method”. Bahan belajar berupa skema atau angka-angka dan penyelesaian aplikasi rumus-rumus matematika akan lebih favoribel dengan “whole-method”, sementara bahan-bahan deskripsi verbal yang panjang atau buku-buku tebal lebih favoribel dipelajari secara “part-method”. Ada pula dua cara latihan yang berlainan yaitu “distributed practice” dan “massed practice”. “Distributed practice” menunjuk pada latihan berjadwal, belajar diselingi waktu istirahat; sementara “massed practice” menunjuk pada latihan padat, atau belajar sekali-hidang, tanpa selingan.
Kemungkinan paling besar “urusan-inti” konseli dalam hal keterampilan belajar ini adalah mencaritemukan bagaimana belajarnya selama ini dan yang mana keterampilan belajar yang cocok bagi dirinya. Peran konselor dalam hal ini adalah membantu konseli untuk memelihara ada dan kuatnya “keterampilan-hidup produktif” dalam belajar, sembari menjajagi adanya yang disebut “keterampilan terpendam dan tersia-siakan” dalam hal keterampilan belajar. Begitu konselor menemukan adanya hal ini, maka konselor tentu tidak akan menunda waktu untuk segera mengagendakan modifikasi ke arah “keterampilan-hidup produktif” dalam belajar siswa/konseli.
Masih termasuk subtema strategi, atau lebih khusus kebiasaan belajar, adalah urusan yang meliputi kebiasaan belajar individual atau kelompok, pemilihan tempat belajar, suasana sekitar belajar, dan perangkat atau kelengkapan yang dimanfaatkan. Ada materi dan tugas-tugas dalam belajar yang memang pantas diselesaikan dengan belajar sendiri dan ada yang pantas diselesaikan secara kelompok. Namun jika seorang siswa hanya memiliki satu modus belajar, individual saja menghindari modus kelompok, atau sebaliknya, maka ini perlu perhatian khusus. Begitupun dengan pemilihan tempat belajar bisa saja unik berdasarkan, misalnya, jenis kelamin dalam mana laki-laki lebih efektif belajar di tempat sunyi sementara perempuan bisa lebih efektif di tempat bising. Begitupun dengan kebiasaan belajar sambil mendengarkan lagu-lagu dari HP atau sambil menonton TV, bisa efektif untuk individu tertentu atau materi belajar tertentu tetapi tidak untuk individu dan materi belajar lainnya. Hal jelas, belajar efektif selalu menuntut pemanfaatan perangkat atau kelengkapan belajar untuk meningkatkan konsentrasi dan partisipasi aktif. Belajar sambil menulis proses dan perolehan berpikir atau mengekspresikannya secara verbal  adalah kebiasaan belajar yang selalu efektif karena meningkatkan makna pribadi bahan belajar.
Itu semua dapat dilabelkan menjadi satu yaitu “kebiasaan belajar”. Urusan tiap siswa dalam segi kebiasaan belajar ini adalah mengenali power masing-masing agar dapat piawai, penuh daya, dan menghindari yang disebut “power tersimpan/terbuang sia-sia”. Peran konselor adalah mengagendakan keadaan “power tersimpan/terbuang sia-sia” untuk dimodifikasi menjadi “piawai atau penuh daya” dalam belajar tiap siswa. Khusus peningkatan power belajar yang terkait strategi mengerahan kognisi, konselor dapat pula melatih konseli berbagai strategi belajar mandiri seperti “menghimpun” atau “chunking” dan penggunaan model-model “memori kerja” atau “working memory”.[5]




[1] Afeksi atau emosi dan perasaan dalam belajar adalah sangat dipentingkan dalam Pengajaran Kuantum. Periksa, misalnya, DePorter, B., Reardon, M., Singer, S., dan Nourie, 1999. Quantum Teaching: Orchestrating student success. Boston: Allyn and Bacon.
[2] Bandingkan dengan pemaparan mengenai keunikan peran kognitif dalam belajar eksperiensial, termasuk akuisisi pengetahuan dan keterampilan dalam tempat-kerja kompleks masa kini, dalam Silberman, M. (Ed.)., 2007. The Handbook of Experiential Learning. San Francisco, CA: John Wiley & Sons, Inc. (h. 35-37)
[3] Ini merupakan transfer makna penting pewarisan budaya lokal secara sistematis dan natural sebagai temuan penelitian yang berkenaan dengan kearifan lokal dalam konsumsi dan pola pikir siswa. Lihat selengkapnya pada Mappiare-AT., A., dan Ibrahim, A. S., dan Sudjiono, 2009: ‘Budaya konsumsi remaja-pelajar di tiga kota metropolitan pantai Indonesia. Dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, 16, 1 Februari: 12-21.
[4] Meminjam istilah kolaborasi tim kerja dalam riset aksi. Lihat, misalnya Herr, K., dan Anderson, G.L., 2005. The Action Research Dissertation: A Guide for Students and Faculty. Thousand Oaks, London: Sage Publicatins (h.36)
[5] Sejumlah strategi belajar dapat dikerahkan oleh siswa secara mandiri setelah berlatih bersama konselor; sebagai contoh, dapat dilihat pada Reed, S. K., edisi Indonesia oleh Aliya Tusyani, 2011. Kognisi: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika (h.69-93)

 
© Andi Mappiare-AT Blogspot Tutorial