Kamis, 18 April 2013

Konseling Bidang Sosial


Tema Pembahasan
Model Konseling KIPAS

Karakter  
Identitas  
Pekerjaan  
Akademik  
                                                                                                                           Sosial

Dimensi Sosial Siswa
sebagai Bahasan Konseling

Fokus Bahasan “SOSIA”


Andi Mappiare-AT

Kehidupan sosial merupakan salah satu tema pembahasan siswa/konseli di bawah bantuan konselor dalam konseling. Tema bahasan kehidupan sosial atau “kecakapan hidup sosial” siswa mencakup bidang luas sebagai konsekuensi dari hakikat manusia sosial. Dalam kehidupan sosial setiap orang berpeluang mengekspresikan diri dalam aksi dan komunikasi atau interaksi yang favoribel dan secara acak dapat disebutkan, misalnya, persahabatan, kedekatan, cinta, altruistisitas, tanggungjawab, empati-pergaulan, toleransi-etnis, toleransi antarumat beragama, dan sebagainya.[1]
Atas sedemikian banyak bagian dari tema sosial sebagai tempat “urusan-inti” siswa, secara pragmatik-idealis bagi kehidupan ideal secara sosial, semuanya dapat direduksi dalam lima subtema. Itu terutama dilihat dari segi orientasi komunikasi atau interaksi seseorang dalam melakukan ekspresi diri. Dari segi ini, subtema pembahasan sosial dapat dikategorikan dalam orientasi SOSIA: 1). Situasi interaksi, yaitu menyangkut selektivitas orientasi interaksi pada situasi formal/nonformal; 2). Output interaksi atau produktivitas interaksi atau produktif-nonproduktif orientasi pergaulan-sosial; 3). Saluran dan jaringan komunitas yaitu terbatas atau meluas, atau soal kecairan (fluidity) komunikasi; 4). Internal vs eksternal arah ekspresi, atau sifat ekspresif atau nonekspresif ke luar diri; 5). Andalan-diri menurut kepentingan diri atau kepentingan orang lain, atau keberanian tempuh-resiko logis dan tanggungjawab-sosial. Ini semua dapat disebut singkat sebagai orientasi SOSIA.
1). Situasi interaksi menyangkut selektivitas komunikasi atau orientasi situasi pergaulan sosial yaitu selektivitas antara situasi formal vs situasi nonformal.  Situasi pergaulan formal memiliki ciri-ciri terstruktur secara tegas, tema pembahasan tertentu, pembagian peran dan fungsi secara jelas, dan aturan yang relatif jelas pula, dan berlangsung dalam sejumlah forum ilmiah dan akademik, misalnya diskusi, seminar, simposium, workshops, tanya-jawab dalam perkuliahan, dan semacamnya. Situasi pergaulan informal bercirikan situasi luwes atau fleksibel, tanpa struktur tegas, tema pembahasan yang dapat berpindah-pindah, tanpa pembagian peran serta tanpa aturan formal tertentu, berlangsung biasanya dalam pertemuan antarteman, antaranggota keluarga, antartetangga, atau kenalan baru.
Pada kedua situasi itu, selektivitas komunikasi terdiri dari dua rentang kualitas konstruksi sosial dan ekspresi pribadi seseorang yaitu non-selektif dan selektif-berlebihan. Orang dengan komunikasi non-selektif memiliki banyak kelebihan, atau ciri-ciri positif yaitu ditandai kelincahan komunikasi secara sama dalam situasi formal dan  situasi informal. Dengan demikian, komunikasi non-selektif merupakan ciri sosial-pribadi yang ideal. Orang dengan komunikasi selektif-berlebihan ditandai lincah dalam situasi  formal tetapi kurang lincah dalam situasi informal atau, sebaliknya, lincah dan ekspresif dalam situasi informal tetapi tidak lincah dalam situasi formal yang menuntut pemikiran.
Pada banyak peristiwa pengamatan, para siswa Indonesia memiliki kecenderungan kuatnya ciri-ciri komunikasi selektif-berlebihan yang disebutkan  di atas. Lebih khusus, banyak siswa sangat lincah melakukan ekspresi diri dalam situasi sosial informal, namun menjadi sedikit sekali yang berani mengemukakan pendapat dengan kalimat-kalimat lincah dan lancar dalam situasi sosial formal. Dapat saja diajukan hipotesis bahwa konstruksi nilai-nilai budaya (sungkan, enggan menonjolkan diri, banyak berpendapat terkesan tidak sopan, dan semacamnya) sebagai telah bekerja dan merefleksi dalam komunikasi lekat-situasi formal-informal. Akan tetapi, pemikir budaya dapat mengonstruksi konsep bahwa ada “perilaku berbasis-budaya yang layak” dan memang perlu dipertahankan dan ada “perilaku berbasis-budaya yang tidak layak” dan karenanya perlu dimodifikasi.
Peran konselor dalam hal ini adalah membantu konseli untuk terlibat dalam pembahasan “urusan-inti” secara memokus pada kemungkinan adanya “intelektual terpendam dan tersia-siakan” dan mengupayakan kesepakatan konseli untuk mencapai kondisi “intelijen/cerdas berpikir kritis”. Ini dapat dipandang sebagai langkah dasar, dalam hal ini, sebelum konselor membantu konseli dalam sejumlah teknik modifikasi agar konseli memiliki sejumlah kecakapan hidup secara sosial, khususnya keterampilan komunikasi.[2]
2). Output interaksi atau produktivitas interaksi atau produktif-nonproduktif orientasi pergaulan-sosial. Output atau produktivitas pergaulan-sosial menyangkut kondisi asyik dalam pergaulan produktif-positif atau, sebaliknya, asyik konterproduktif. Masyarakat lazimnya menyediakan situasi dalam mana para anggota masyarakatnya terkondisikan untuk melibatkan diri secara asyik dalam pergaulan produktif-positif. Kerja bersama atau gotong-royong disertai nyanyian daerah, tari-tarian, dan aneka bentuk cara bersenang-senang sambil bekerja, misalnya, adalah bentuk-bentuk asli pergaulan produktif-positif. Aneka model belajar kelompok juga menggunakan cara-cara yang sama.  
Akan tetapi, sejumlah siswa mengalami assosiasi yang lebih jauh mengenai kesenangan bersama, yaitu masuk ke dalam pergaulan-sosial asyik konterproduktif. Ini ditandai dengan pergaulan luas dan bebas dengan teman-teman yang tidak produktif, dari sekedar pengisian waktu luang yang santai berlebihan  sampai pada kehidupan malam dengan segala kelengkapannya. Konseli dalam kondisi ini tidak jarang masuk lebih jauh dalam fenomena kesadaran-palsu, kenikmatan khayali.
Pada konseli demikian ini sangat patut dibantu oleh konselor dengan “urusan-inti” yang memokus pada menjajagi kemungkinan adanya “assosiatif-berlebihan” dan berupaya ditemukan peluang-peluangnya untuk menjadi subjek yang kompeten “analis-aktif dan realistis”.
3). Saluran dan jaringan komunitas yaitu terbatas atau meluas, atau soal kecairan (fluidity) komunikasi. Saluran dan jaringan komunitas sebagai orientasi interaksi seseorang dapat terbatas dan dapat meluas. Ini dapat pula disebut sebagai kecairan (fluidity) komunikasi. Idealnya, setiap orang diharapkan memiliki sifat “cair” atau luwes dalam komunikasi, yaitu interaksinya berorientasi secara cair kepada berbagai komunitas secara luas, berbagai tingkat kelas sosial, dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan. Orang yang memiliki “modus interaksi” hanya dalam komunitas terbatas dipandang memiliki sejumlah potensi yang perlu dikembangkan dalam menghadapi komunikasi yang “tersumbat” atau kondisi “kurang luwes”. Keluwesan komunikasi ini adalah soal belajar, sesuatu yang diperoleh, bukanlah sesuatu warisan biologis, meskipun mungkin ada sejumlah “modal-modal bawaan”, misalnya kemerduan suara, bentuk fisik dan wajah, keadaan anggota tubuh, dan sebagainya, namun hal ini dipandang dan kenyataannya pula adalah tidak terlalu signifikan.
Banyak orang yang memiliki komunikasi pergaulan yang cair dapat berkomunikasi secara lancar dengan orang-orang dari komunitas yang berbeda darinya. Mereka ini ditandai oleh kecenderungan pergaulan luas, meskipun mungkin wajah biasa-biasa saja, suara kurang merdu atau tidak menarik, postur tubuh di bawah rata-rata, anggota badan tidak sempurna, dan semacamnya. Orang-orang semacam ini memiliki sejumlah modal/aset sosial dan modal pribadi untuk mencegah atau mengatasi situasi-situasi sosial khusus, misalnya konflik dan dilemma yang sudah terjadi baik dalam dirinya sendiri maupun konflik dirinya dengan orang lain atau konflik antarpribadi.[3] Modal/aset sosial dapat berupa jaringan pertemanan luas, popularitas, kepercayaan dari orang-orang lain, dan seterusnya. Modal/aset yang bersifat pribadi atau dalam bahasa kontemporer disebut “inner-power” (kekuatan tersembunyi dari dalam), misalnya, harga-diri, citra-diri, rasa-bisa, bakat-bakat khusus, kecerdasan dan pengetahuan luas, dan kecakapan negosiasi. Semua modal sosial ini adalah hasil belajar.[4]
Subjek dalam komunikasi “tersumbat” atau “kurang luwes” ditandai hubungan klik dan pertemanan terbatas seperti komunitas khusus, kelompok organisasi, agama atau etnis; mereka mudah mengalami culture-shock (“kejut-budaya”) jika berhadapan dengan orang-orang yang berasal dari komunitas, organisasi, agama, atau etnis yang memiliki kultur bebeda darinya. Kelompok orang yang memiliki ciri-ciri seperti ini umumnya memahami situasi komunitas khusus dirinya itu sebagai satu-satunya orientasi komunikasi yang paling aman dan nyaman. Para siswa yang berada dalam kelompok ini sangat perlu bantuan untuk memunculkan berbagai potensi dalam dirinya atau “inner-power” untuk dijadikan dasar bagi perluasan atau pencairan orientasi komunikasi.
4). Internal vs eksternal arah ekspresi, atau sifat ekspresif atau nonekspresif ke luar diri. Semua orang pada dasarnya memiliki ekspresi komunikasi ke dalam diri (internal) yang dikenal sebagai “komunikasi intrapersonal”. Ini dalam wacana psikologis kadang diistilahkan sebagai “bisik-diri” (self-talk) yang kemudian menjadi suatu teknik untuk membalik suatu “bisik-diri” yang semula merugikan. Dalam batas-batas tertentu ruang-lingkup situasi, keadaan atau peristiwa dan intensitas kemunculannya, komunikasi intrapersonal demikian itu tentu perlu karena menjadi ciri berpikir (terarah) dan banyak melahirkan imajinasi positif. Komunikasi intrapersonal merupakan suatu fenomena penting dalam pemecahan masalah, berpikir kreatif, berpikir kritis, termasuk kritis pada diri sendiri.
Namun, ada banyak bentuk komunikasi yang berorientasi internal yang sangat merugikan. Pada kasus siswa, misalnya, komunikasi intrapersonal jenis ini dapat berbentuk bisik-diri sebagai orang yang tidak mampu,  tidak ada lagi harapan, semua jalan buntu bagi dirinya, dan seterusnya. Dalam konteks struktur sosial mutakhir Indonesia, dalam mana hampir semua orangtua mendorong anak secara tidak metodis untuk selalu banyak belajar, rata-rata sekolah  mengejar prestasi dan grade disertai tekanan-tekanan kuat agar semua siswa senantiasa berprestasi tinggi (sebuah bentuk “tekanan struktural” atau “himpitan sosial berlapis”) atau “himpitan ganda” (double bind)[5] atau suatu situasi “jadi pecundang”, selalu merasa kalah, tanpa rasa menang. Dalam kadar himpitan yang berkepanjangan dan meluas pada banyak aspek, dapat menimbulkan bisik-diri anak/siswa yang mengarah pada perlawanan. Ini kemudian, dalam perspektif sosio-psikologis, dapat menumpuk dalam bawah-sadar lalu memunculkan perlawanan bawah-sadar kepada struktur/pranata yaitu keluarga dan sekolah (fenomena “kesurupan massal”)  atau perlawanan dalam bentuk kesadaran-palsu (false-consciousness) yaitu “simpang-arah”, kepada sasaran pengganti, suatu penyimpangan visi-visi realitas (contoh pada fenomena “perkelahian pelajar”). Kedua modus perlawanan ini adalah “pilihan-pilihan” yang paling aman dan efektif dalam pemahaman para remaja yang terlibat.  Tidak mustahil, secara sosio-psikologis, “tekanan struktural” atau “himpitan sosial berlapis” diperkuat oleh bisik-diri ~ selain fenomena sosio-psikis lain sebagai pemicu ~ adalah akar dari “kesurupan massal” dan “perkelahian pelajar”.
Semua aset ideal ~ keterampilan-hidup produktif, intelijen/cerdas berpikir kritis, piawai/penuh-daya, analis-aktif/realistis, dan sensitif pada norma/nilai ~ adalah sangat penting dimiliki oleh para siswa untuk dapat melakukan komunikasi yang berorientasi eksternal kepada semua lapisan struktur.  Para siswa perlu menerapkan itu dalam berkomunikasi mulai pada struktur paling dekat yaitu orangtua dan saudara-saudara, pergaulan bertetangga, pergaulan di sekolah, interaksi dalam masyarakat, sampai pada komunikasi terhadap otoritas yang lebih formal. Salah satu hal yang perlu disadari oleh para siswa adalah (bahwa) realitas hidup di dunia adalah memang mengandung pelapisan sosial ~ yang atas “menindih” yang di bawah. Para siswa perlu pula menyadari bahwa setiap diri mereka sebagai aktor atau agen memiliki zona-zona kebebasan untuk memainkan peran untuk menyumbang secara positif dalam posisi manapun dirinya dalam sebuah struktur. Seketat apapun tekanan struktur, hal lain yang lebih prinsip, manusia memiliki cara ekspresi komunikasi untuk bebas dari tekanan.
5). Andalan-diri menurut kepentingan diri atau kepentingan orang lain, atau keberanian tempuh-resiko logis dan tanggungjawab-sosial. Atas dasar kepentingan itu, orientasi Andalan-diri dalam hubungan sosial dapat dikelompokkan dalam tiga golongan: pertama,  kepentingan rasional yaitu keseimbangan kepentingan diri dengan kepentingan orang lain; kedua, kecenderungan altruistis tempuh-resiko dan tanggungjawab-sosial; dan ketiga, berlebihan kepentingan “aku” (diri). Golongan yang pertama adalah tipikal sifatnya. Setiap interaksi sosial memiliki dua konsekuensi logis yaitu keuntungan (profit) dan korban atau “harga-bayar” (cost).  Orang pada umumnya menyadari ini dan bersedia menempuh kedua konsekuensi logis itu. Orang umumnya menyadari bahwa kita dapat memperoleh rasa senang, mudah tertolong, atau dapat diperoleh sejumlah fasilitas dari suatu interaksi dan pertemanan. Keuntungan demikian itu harus pula disertai dengan sejumlah “harga-bayar” mulai dari pengerahan tenaga, sejumlah (korban) perasaan, waktu, sampai pada kemungkinan pemberian hadiah. 
Konseli pada kondisi ini perlu dibantu dalam “urusan-inti” dengan memokus pada kemungkinan adanya “Power tersimpan/terbuang sia-sia“ dan atas dasar itu konselor membantu mencanangkan kualitas pribadi yang “piawai, penuh-daya” bagi konseli itu.
Ekspresi tanggungjawab-sosial masuk sebagai bagian dari  keberanian tempuh-resiko. Namun, pada golongan kedua, subjek dapat sangat ekspresif dalam tanggungjawab-sosial namun memiliki kecenderungan terlampau mementingkan orang lain, memiliki perilaku menolong, bersedia berkorban waktu/tenaga/dana untuk kemasylahatan orang-orang lain. Mereka mendapatkan kesenangan dan bahkan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi dalam kondisi itu. Dalam batas-batas tertentu golongan ini dapat sangat produktif, namun kadang-kadang merugikan atau bahkan  mengorbankan dirinya sendiri. Pada kategori ketiga, ada dua tipe: pertama, kebalikan dari tipe kedua, dalam mana subjek berada dalam kondisi pergaulan atau tetap bergaul dengan orang-orang namun dengan orientasi pada keuntungan diri semata, tanpa menghiraukan kerugian orang-orang lain. Tipe lain dari kategori ketiga ini adalah orang dengan pergaulan sosial tertahan, menarik-diri dari pergaulan sosial. Subjek dalam kondisi ini memilih tidak mendapatkan keuntungan dari interaksi daripada harus menempuh resiko; mereka mengindari resiko bergaul dengan siapa saja, angkuh, penyendiri, atau pengkhayal. Kedua tipe orientasi kategori ketiga ini adalah tidak produktif secara ideal.
Untuk konseli pada kondisi ini layak dibantu oleh konselor dalam “urusan-inti” dan memokus pada melabelkan “sensitif simpang orientasi” dan konseli dibantu ke arah “sensitif pada norma/nilai”.



[1] Konsep-konsep semacam ini, khususnya perluasan makna “empati” ke dalam konteks budaya-etnis beserta teori dan penelitian Barat dan Indonesia, dapat ditemukan dalam Taufik, 2012. Empati: Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[2] Ada cukup banyak sumber yang memuat contoh-contoh materi pelatihan keterampilan komunikasi yang dapat dipilih oleh konselor. Sudah barang tentu materi demikian perlu dimodifikasi baik bahasa maupun ruang-lingkup isi dan format sesuai dengan tingkat usia siswa. Bandingkan, misalnya, dengan bahan-bahan pelatihan keterampilan komunikasi dalam Tindall, J. A., dan Gray, H. D., 1987. Peer Power: Becoming an effective peer helper, Book 1 (Second Edition). Muncie, Indiana: Accelerated Development, Inc.
[3] Sudah waktunya konselor sekolah Indonesia lebih banyak lagi mempelajari dan mengkaji modal sosial atau aset sosial siswa dan mendayagunakan hal itu untuk mencegah dan mengatasi sejumlah isu sosial, khususnya konflik dalam bentuk perkelahian pelajar atau bullying. Sebagai dasar, sejumlah konsep penting sosial dan budaya terkait konflik dapat ditemukan oleh konselor dalam berbagai sumber, sebagai contoh: Wirawan, 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jagakarta, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
[4] Bandingkan dengan sejumlah fenomena, konsepsi, teori, dan strategi pencegahan dan pengelolaan konflik dalam Heitler, S. M., 1993. From Conflict to Resolution: Skills and Strategies for Individual, Couple, and Family Therapy. Wells Street, London: W. W. Norton & Company Ltd.
[5] “Double bind” adalah konsep dari Konseling Paradigma Sistemik-Relasional dalam satu unit hipotesis yang diajukan oleh G. Bateson, D. Jackson, J. Haley, dan J. Weakland (1956) dalam Cottone, R. R., 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon (h. 14).

 
© Andi Mappiare-AT Blogspot Tutorial