Senin, 18 Maret 2013

Konstruksi Identitas Siswa dalam Konseling

                               Tema Pembahasan dalam Konseling
 
Karakter
Identitas
Pekerjaan
Akademik
Sosial






Konstruksi Pribadi bernama “Identitas”:
Menampak berwujud simbol-simbol
bahasa, busana, kepemilikan, dan aksi agen;
tervalidasi dalam interaksi dan makna-bersama


Bingkisan kecil dari
“Sanggar KIPAS”
Andi Mappiare-AT
Edisi Revisi, 21 Mei 2013

Identitas merupakan istilah yang banyak digunakan untuk menunjuk pada jati-diri seseorang sebagai agen atau aktor. Identitas menampak dalam wujud simbol-simbol bahasa, busana, kepemilikan benda-benda, dan aksi agen/aktor, serta tervalidasikan di dalam interaksi sosial dan makna bersama. Identitas adalah dimensi sosial pribadi yang mencakup self (diri). Identitas dapat ditinjau-bahas dari berbagai segi yang meliputi (secara garis besar):
1) Jenis kelamin dan (sifat) jender;
2) Etnisitas atau afiliasi etnis;
3) Nilai/religius atau sistem nilai;
4) Sosial-ekonomi, yaitu konstruksi dan perilaku sesuai status sosial-ekonomi;
5) Pendidikan/pekerjaan (dan Karier) sebagai konstruksi/cita-cita.
Agar lebih mudah dihafal dan untuk efisiensi komunikasi, kelimanya dapat diakronimkan menjadi “JENiS-PK”. Tiap sisi identitas atau tiap unsur dari “JENiS-PK” adalah lebih spesifik daripada karakter, karena menyangkut segi-segi atau bidang-bidang subtema tertentu. Karakter bisa dan harus bersifat seimbang-selaras-serasi (eklektik-gestalistik), atau utuh, untuk dapat disebut “pantas” atau “ideal”. Identitas atau “JENiS-PK” harus spesifik dan jelas-tegas (definitif) pada seseorang untuk dapat disebut ideal.
Kejelasan atau, sebaliknya, kekaburan identitas (atau JENiS-PK) pada suatu segi memiliki fungsi sangat penting untuk efektivitas hidup seseorang. Identitas (JENiS-PK) yang jelas-tegas akan berfungsi untuk hidup efektif; sebaliknya identitas yang kabur akan berfungsi pada hidup tidak efektif. Hal ini sangat benar adanya dalam pergaulan sosial-budaya Indonesia, meskipun pada beberapa segi tersebut di atas dapat saja diperdebatkan. Sebagai ilustrasi, semua masyarakat Indonesia menerima orang yang jelas/spesifik sistem nilai/religinya dan menolak tegas orang yang mengaku bersistem nilai “multireligi”. Budaya masyarakat Indonesia, ilustrasi lain, menerima sepenuhnya orang dengan jenis kelamin yang jelas, dan mempertanyakan keberadaan orang-orang yang berjenis-kelamin ganda. Meskipun sejumlah subbudaya Indonesia mungkin menerima kegandaan beberapa segi identitas, namun jika seseorang ingin hidup efektif di Indonesia, secara umum, maka seluruh segi identitas (JENiS-PK) seseorang itu perlu jelas-tegas. Setiap sisi atau unsur JENiS-PK dapat dideskripsikan masing-masing:
1). Jenis kelamin dan (sifat) jender adalah identitas. Jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan secara biologis, dalam keyakinan budaya Indonesia, haruslah jelas pada konstruksi diri seseorang. Dalam pemahaman perspektif posmodern konstruksionis Budaya Indonesia hanya ada dua jenis kelamin, tidak lebih, meskipun gencar publikasi agenda “politik identitas” dari perspektif posmodern dekonstruksionis Barat-Eropah dengan eksploitasi informasi fenomena “biseksual” dan “transeksual”. Orang Indonesia, yang hidup dalam sosial budaya Indonesia, harus memilih salah satu identitas dari segi yang satu ini.
Begitulah secara sosial, misalnya, tidaklah layak untuk konteks budaya Indonesia adanya identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki sekaligus dalam satu orang, meskipun layak bahkan ideal adanya karakter matriarki berpadu patriarki pada diri seseorang. Dalam hal ini juga diharapkan adanya kecondongan khas pada identitas “feminin” atau “maskulin” pada identitas ideal bangsa Indonesia. Seseorang agen/aktor harus memilih menjadi perempuan (yaitu jelas/menonjol ciri/peran sosial feminin) atau laki-laki  (yaitu jelas/menonjol ciri/peran sosial maskulin) dalam hal identitas. Meskipun orang-orang yang dalam dirinya terkandung kedua sifat (feminin dan maskulin) dipandang lebih sehat; namun seseorang Indonesia harus mempunyai kecondongan identitas jender secara jelas. Kuat ciri sifat laki-laki ataukah kuat ciri sifat perempuan. Mohon tidak keliru dengan karakter matriarkis dan patriarkis yang lebih baik jika berpadu integral (lihat kajian tema “karakter”).
Fokus perhatian konselor dalam subtema identitas segi jenis kelamin dan (sifat) jender ini adalah membantu siswa memiliki konstruksi-konstruksi jenis kelamin dan sifat-sifat jender secara jelas dan tegas pada diri setiap siswa. Sekuat apapun media massa mempropagandakan bahwa, misalnya, “perempuan macho itu menarik”, atau “bencong itu menggembirakan”, atau “banci itu menghasilkan uang”, dan seterusnya, konselor Indonesia haruslah tetap menyuarakan “konterpropaganda” bahwa hidup yang efektif  dan selamat dunia-akhirat itu adalah identitas jenis kelamin yang jelas-tegas.
2). Etnisitas sebagai identitas agen/aktor dapat dikenali berdasarkan sekurangnya empat tingkatan: (a) “ethno” (suku-bangsa), (b) “mather tongue” (bahasa-ibu) atau “native language” (bahasa asli/warisan), (c) “mother country” (suku darimana ayah-ibu sebagai asosiasi koloni),  atau (d) “domiciled/local” (wilayah tempat tinggal, misalnya nama kota). Tingkatan “etnis” dimaksud adalah berdasarkan “kemurnian” garis keturunan suku-bangsa, dan berkonsekuensi pada tingkatan kejelasan dan kemudahan beridentifikasi dan berafiliasi etnis seseorang sebagai anggotanya. Pada yang pertama, masih banyak di Indonesia, orang-orangnya memiliki ciri-ciri garis keturunan suku-bangsa yang jelas-tegas disertai dengan bahasa daerah yang juga khas. Anggota etnis ini sangat mudah memiliki komunitas tempat identifikasi dan afiliasi identitas etnis.
Seseorang aktor/agen yang lahir dari orangtua campuran suku-bangsa namun berkomunikasi dalam bahasa daerah yang jelas atau khas dalam komunitas bahasa itu (tingkatan kedua) juga mudah memiliki komunitas tempat identifikasi dan afiliasi identitas etnis. Banyak etnis berbahasa Batak, berbahasa Bugis, berbahasa Madura, berbahasa Minang, berbahasa Melayu-Aceh ~ sekedar contoh ~ meskipun mereka lahir dari kedua orangtua dari suku-bangsa campuran, hanya salah seorang yang berasa dari etnis yang bahasanya dikuasi. Jika tidak, maka “mother country” yaitu suku darimana ayah-ibu sebagai asosiasi koloni (tingkatan ketiga) dapat dijadikan acuan kejelasan dan ketegasan identitas etnis seseorang. Agen atau aktor yang lahir dari kedua orangtua yang secara “murni” memiliki garis keturunan suku-bangsa tertentu, meskipun sudah tidak lancar atau kurang menguasai bahasa daerah etnis aslinya, mungkin masih dapat memiliki kejelasan dan ketegasan identitas etnis sejalan dengan etnis kedua orangtuanya. Akan tetapi, para agen/aktor ini mungkin mengalami kesulitan karena sudah bermukim lama pada daerah lain dari suku-bangsa asli mereka.
Minimal, tetapi kadang-kadang berfungsi sangat efektif, seseorang memiliki kejelasan dan ketegasan identitas “domiciled/local” yaitu wilayah tempat tinggal, misalnya nama kota, sebagai kebanggaan dan rujukan identifikasi dan afiliasi identitas etnis. “Arema” dengan semangat “singo-edan”-nya; “Betawi” dengan kebanggaan “lu jual gue beli”-nya; “Arek-arek Suroboyo” dengan “Semangat Sepuluh-November”-nya; “Orang-Ambon” dengan “Pella-Gandong”-nya; “Orang-orang Kei” dengan “aini-ain”-nya (sehati-setujuan); “Komunitas Merauke”, baik yang “Bumer” (Bugis-Merauke), “Jamer” (Jawa-Merauke), “Ammer” (Ambon-Merauke), maupun yang “Menomer”  (Menado-Merauke), semuanya mengikat diri dalam identitas “Izakot bekai, Izakot kae” (satu-hati, satu-tujuan). Semua  itu adalah kebanggaan etnis yang perlu dibuat jelas dan tegas sebagai identitas seseorang. Kejelasan dan ketegasan identitas etnis adalah syarat penting bagi seseorang untuk hidup bermasyarakat secara lebih efektif.
3). sistem Nilai/religius yaitu agama (dan kepercayaan) seseorang dalam mana seseorang memiliki keyakinan, praktek religi/komitmen, pengalaman-bathin, pengetahuan religi, dan konsekuensi atau aturan boleh-tak-boleh dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah segi identitas yang paling mendatangkan kepekaan hubungan antarmanusia dalam budaya Indonesia. Jelas atau tidak-jelasnya identitas religius seseorang akan menentukan kejelasan dan keluasan ruang lingkup sosial (lokal) dalam mana seseorang diterima sepenuhnya atau, sebaliknya, ditolak keberadaannya.
Seseorang yang jelas (tampak, dipersepsi atau dipahami) keyakinan religinya akan diterima ke dalam suatu komunitas beragama tertentu di Indonesia, bahkan diterima oleh komunitas yang berbeda keyakinan dengan seseorang itu. Seseorang yang beragama A, tidak saja diterima sepenuhnya oleh komunitas beragama A tetapi juga diterima oleh komunitas beragama B. Seseorang yang tidak jelas atau kabur identitas sistem nilai/religinya, sebaliknya, tidak memiliki ruang lingkup sosial (lokal) yang jelas dan luas dalam mana seseorang diterima sepenuhnya. Dengan demikian, kejelasan/kekaburan identitas religius seseorang adalah menentukan keefektifan kehidupan sosial seseorang dalam budaya Indonesia.
Konselor mengurusi konstruksi dan rekonstruksi identitas sistem nilai atau religi setiap siswa sehingga menjadi jelas dan tegas, bukan mengajarkan pendidikan agama tertentu. Tujuannya adalah agar setiap siswa memiliki kemandirian dalam konstruksi dan rekonstruksi identitas ini sehingga menjadi jelas-tegas dengan sendirinya. Para konselor tidak mungkin dapat memasuki konstruksi para siswa, karenanya para siswa harus mandiri di bawah bantuan konselor.
4). Status kelas Sosial-ekonomi merupakan segi identitas yang cukup jelas dan tegas, namun tidak semua orang memiliki konstruksi yang cocok dengan kelas sosial-ekonomi dalam mana dia berada. Konstruksi kelas sosial-ekonomi seseorang agen/aktor bisa jadi tidak jelas. Konstruksi demikian itu berkonsekuensi pada perilaku tampak. Ada sejumlah modus-modus konstruksi sikap, pola-pikir, perilaku, atau “gaya-hidup” yang diharapkan oleh masyarakat diekspresikan oleh seseorang sejalan dengan kelas sosial-ekonominya. Adalah sangat janggal dan kadang-kadang tercela bahkan dapat membawa derita bagi seseorang yang berada dalam kelas sosial-ekonomi bawah atau menengah-bawah jika asyik hidup konsumeristis, terlibat dalam perlombaan “elit-kecil” antar-tetangga, dan tampil dengan gaya hidup glamour. Konstruksi identitas yang tidak tegas semacam ini sangat pasti membawa seseorang dalam hidup yang sangat tidak efektif, bahkan dapat terjebak dalam kesulitan ekonomi dengan segala konsekuensi pribadi-sosialnya.
Orang-orang dalam kelas sosial-ekonomi atas juga diharapkan oleh masyarakat sosial budaya Indonesia untuk tampil secara tepat menurut tingkatan kelas sosial-ekonominya. Rasanya semua masyarakat kelas bawah dan menengah-bawah Indonesia mengharapkan agar anggota kelas sosial atas tidak perlu lagi korupsi atau “memakan uang rakyat”, atau tipu-menipu dan memperdaya orang lain. “Mensyukuri nikmat Tuhan” adalah kata kunci sikap kelas sosial atas yang diharapkan untuk dimilikinya. Banyak berbuat atau sekurangnya terlibat, berpartisipasi aktif-positif untuk memberdayakan masyarakat, itu adalah harapan terbesar kelas sosial bawah terhadap kelas sosial atas. “Pemurah” dan “penolong” adalah kata-kata kunci dari sikap yang diharapkan dimiliki oleh orang-orang sebagai anggota kelas ekonomi atas. Pamer kekayaan pada kalangan anggota komunitas kelas sosial atas diharapkan oleh para anggota kelas sosial bawah untuk tidak ditonjolkan oleh komunitas kelas sosial atas. Mereka para anggota kelas sosial atas bisa menjadi sasaran “kecemburuan sosial” ~ sebagai contoh, korban curanmor, perampokan dengan kekerasan, atau penganiayaan, dan seterusnya. “Rendah hati” adalah kata kunci sikap yang perlu dimiliki oleh penghuni kelas sosial atas dan menjadi salah satu pengharapan masyarakat kelas sosial-ekonomi bawah dan menengah-bawah.
Konseling berurusan dengan konstruksi dan rekonstruksi identitas kelas sosial-ekonomi, bukan membuat siswa naik kelas sosial atau kaya ataupun membuat turun kelas sosial-ekonomi siswa menjadi miskin. Konselor berusaha memandirikan para siswa dalam konstruksi dan rekonstruksi identitas sesuai dengan kelas sosial-ekonomi para siswa sejak dini, dan konstruksi ini seyogyanya sudah terbentuk dengan jelas selama para siswa menjadi peserta-didik.
5). Jalur Pendidikan/pekerjaan (dan Karier) sebagai identitas agen/aktor adalah bersangkutan dengan perencanaan masa depan. Dalam kajian identitas sebagai salah satu bahasan konseling, sasarannya tetap pada konstruksi dan rekonstruksi, belum pada pembuatan pilihan, bukan pada pengambilan keputusan secara tetap. Pemabahasan dengan usaha pembuatan pilihan dan pengambilan keputusan pendidikan adalah kajian dalam “subtema Akademik”. Dalam “subtema Pekerjaan” pun, pembahasan pekerjaan dalam konseling adalah sebatas latihan-latihan kemandirian dalam hal itu. Seorang konselor, mungkin terlalu jauh berusaha membantu siswa memiliki kejelasan arah pilihan pekerjaan/karir, misalnya pada SMK (sekolah menengah kejuruan). Itu mungkin tidak salah, sebagaimana dikaji dalam “tema Pekerjaan” selanjutnya. Hal pasti, sasaran pembahasan konseling mengenai identitas pendidikan dan karier/pekerjaan/profesional  tetap pada konstruksi dan rekonstruksi.
Kejelasan identitas pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu langkah penting dalam kejelasan identitas karir/pekerjaan. Pada sekolah menengah pertama, mungkin konstruksi agen/aktor (tiap siswa) mengenai identitas pendidikan belum terlampau mendesak. Namun, jika identitas pendidikan ini sudah dimiliki “embriyo” konstruksinya oleh para siswa, maka siswa-siswa dapat membuat ancer-ancer untuk lebih fokus ke arah SMA (sekolah menengah atas umum) ataukah ke SMK (sekolah menengah kejuruan) kelanjutan studinya kelak. Kejelasan “embriyo” ini adalah cikal-bakal bagi belajar terarah atau yang efektif. Pada tingkat satuan pendidikan SMA atau SMK agaknya kejelasan konstruksi identitas pendidikan sudah sangat terarah untuk penegasan konstruksi identitas karir/pekerjaan kelak.
Pertanyaan paling dasar yang perlu dimiliki oleh para siswa yang ditujukan kepada diri mereka masing-masing, dalam hal ini, adalah “Siapa saya (jalur pendidikan) pada kehidupan 3-6 tahun ke depan?”. Lebih lanjut: “Siapakah saya (karir/pekerjaan) pada 10-15 tahun ke depan?”. Para siswa yang memiliki konstruksi jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan itu akan sangat terbantu untuk hidup efektif dalam tugas-tugas sekolah. Jawaban-jawaban konstruktif mengenai pertanyaan ini harus dimiliki oleh para siswa, di antaranya, melalui bantuan konseling. Konseling, dengan kata lain, membantu siswa memiliki kejelasan dan ketegasan konstruksi identitas jalur pendidikan dan karier, pekerjaan, atau profesional tiap-tiap siswa.
Konselor dalam bekerja bersama konseli (“kawan-kerja”-nya) senantiasa berupaya mengonstruksi dan (bila perlu) merekonstruksi semua segi identitas (JENiS-PK) pada konseli sehingga konseli menjadi mandiri dalam konstruksi dan rekonstruksi identitasnya sendiri sebagai agen atau aktor. Berbeda dengan karakter yang sangat luas dan berjangka-panjang, sehingga mungkin tidak bisa mencapai keutuhan sepanjang agen menjadi peserta-didik, identitas pada sejumlah segi (terutama yang “peka”) harus sudah jelas-tegas. Jikapun belum, “kemandirian” siswa dalam penegasan identitas adalah kata kunci yang harus tetap dipegang dan sudah dicapai selama seseorang menjadi peserta-didik.

 
© Andi Mappiare-AT Blogspot Tutorial