Selasa, 19 Maret 2013

Rencana Pekerjaan dan Karier Siswa Urusan Konseling


Tema Pembahasan dalam Konseling:               
                                                                                                      Karakter
                                                                                                      Identitas
                                                                                                      Pekerjaan
                                                                                                      Akademik
                                                                                                      Sosial



“Pekerjaan (dan Karier)”
Itu jelas urusan Konseling:
Sebagai sumber enersi cinta, dapat  
menjadi “pandangan hidup” agen.

Bingkisan kecil dari
“Sanggar KIPAS”
Edisi Revisi, 21 Mei 2013
Andi Mappiare-AT
Pekerjaan (dan karier) menunjuk pada bidang aktivitas pokok untuk mendapatkan profit baik dalam arti income finansial atau ekonomi, sebagai penghidupan, maupun profit sosio-psikis; dan dalam aktivitas pokok itu seseorang bertumbuh-kembang dan maju. Kata “karier” adalah istilah yang secara khusus menunjuk pada pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan kehidupan dalam pekerjaan, jabatan, atau profesi seseorang. Pekerjaan (dan karier) dalam perspektif maknawi merupakan salah satu dari tiga dimensi makna hidup ~ kerja, cinta, dan main. Cinta mencakup pengertian luas mulai dari level “rendah” yaitu cinta terhadap diri, kesenangan dan pemeliharaan-diri, yang menengah yaitu cinta terhadap sesama untuk pemenuhan kebutuhan biologis dan sosio-psikologis, cinta alam-semesta untuk membuat kebajikan di muka bumi, sampai ke level yang tertinggi yaitu cinta Ilahiyah (peribadatan).
Pekerjaan yang ditekuni seseorang dari perspektif maknawi itu merupakan sumber enersi untuk semua level cinta. Seseorang akan dapat secara efektif dan memuaskan mengekspresikan cinta dalam level manapun jika seseorang memiliki modal untuk itu. Modal dimaksud merupakan enersi yang diperoleh dari kerja ~ berupa income, teman sejawat atau kolega, dan fasilitas legal. Main (play) memiliki fungsi-ganda yang berbeda menurut peruntukannya entah untuk kerja ataukah untuk cinta. Main memiliki fungsi re-kreasi (yaitu pembaharuan daya-kreasi atau daya-cipta) untuk kerja dengan mengasyiki yang lain dari rutinitas kerja sebelum kembali tenggelam dalam kerja dengan penuh daya-kreasi, mencipta. Main untuk cinta level  “rendah” dan menengah adalah semacam kemasan penghias yang dapat sekaligus sebagai medium untuk meningkatkan kualitas cinta terhadap diri, terhadap sesama, dan  terhadap (pemeliharaan) alam dan bumi. Namun, untuk cinta level tertinggi, main agaknya berfungsi rekreatif setelah atau sebelum konsentrasi transendental dalam peribadatan, karena cinta level tertinggi (religius) tidak integratif dengan main. Cinta Ilahiyah kadarnya bukan-main, tidak bisa main-main ~ berbeda dari main untuk/dalam cinta level di bawahnya.
Nalar itu menunjukkan, pada satu perspektif (makna hidup), pentingnya kedudukan pekerjaan (dan karier). Pada perspektif jangka-kehidupan (life-span), tampak secara kongkret pentingnya  urusan pekerjaan. Ini secara tegas terkait dengan lama usia yang dijalani orang dalam kehidupan dunia kerja. Jangka-kehidupan rata-rata manusia adalah antara 55 – 75 tahun, dengan perkiraan pensiun antara usia 55 – 65 tahun. Dalam prakiraan rentang usia demikian, rentang masa studi dijalani selama antara 12 tahun (sampai keluar sma) atau yang lama sekitar 17 tahun (tamat sarjana S1), serta masa yang lebih banyak diisi “main-main” (masa kanak-kanak dan masa pensiun) dijalani sekitar 13 – 18 tahun. Dengan prakiraan itu, ada sekurangnya 30 – 40 tahun rentang waktu yang dijalani rata-rata orang dalam dunia kerja.
Rentang usia yang berjangka waktu lama semacam itu perlu dijalani dan dialami oleh seseorang sekurangnya dalam keadaan menyenangkan. Idealnya, itu dijalani orang dengan mendatangkan kepuasan (kerja) dan lebih tinggi mendatangkan kebahagiaan. Salah satu dasar penting agar kerja menyenangkan, mendapatkan kepuasan kerja, dan mendatangkan kebahagiaan adalah dengan cara orang menempati pekerjaan yang cocok dalam mana orang itu dapat terpenuhi kebutuhan bio-psiko-sosio-religiusnya. Dalam dunia kerja yang cocok seseorang memungkinkan terpenuhi kebutuhan makan-minum dan perlindungan (biologis), kebutuhan akan rasa aman dan rasa berharga (dalam dimensi psikologis), kebutuhan akan pergaulan dan berinteraksi dengan orang-orang lain atau relatedness (dalam dimensi sosiologis), dan kebutuhan lebih transendental atau hidup bermanfaat yang terkait dengan niat beribadah atau rootedness (dalam dimensi religius). Para agen atau aktor yang mencanangkan niat kerja untuk memenuhi kebutuhan secara lengkap dari yang dasar sampai pada yang tertinggi (kebutuhan religius) dapat dikleim bahwa agen atau aktor itu menempatkan dunia kerja pilihannya sebagai “the way of life” atau pandangan hidup.
Ada satu frasa kunci dalam upaya memenuhi kebutuhan tadi melalui dunia kerja yaitu “pekerjaan yang cocok”. Dalam upaya mengantisipasi atau mendapatkan “pekerjaan yang cocok” itulah konseling membantu siswa sebagai agen atau aktor dalam mengurusi rencana, pilihan-pilihan, dan keputusan-keputusan pekerjaan(dan karier)-nya secara mandiri. Frasa kunci kedua dalam hal ini adalah (bahwa) konseling membantu siswa sebagai agen atau aktor untuk “mandiri dalam urusan-urusan tema pekerjaan (dan karier)”. Konsep  “mandiri” (“independent”) atau “kemandirian” (independency) secara psikis dalam frasa itu tidaklah mengacu pada konsep “otonomi” (“autonomy”) secara sosial/politik dalam mana siswa memiliki hak dan kekuasaan menentukan arah tindakannya sendiri, “semau sendiri”, dan mengabaikan pandangan-pandangan orangtuanya dan orang-orang berpengaruh lainnya (significant others) dalam urusan-urusan tema pekerjaan (dan karier). Konsep  “mandiri” (“independent”)  di sini lebih menunjuk pada tindak partisipatif, tempuh resiko, dan ambil tanggungjawab para siswa (sebagai agen) dalam memadukan berbagai kondisi, situasi, tuntutan, pengharapan yang terlibat di dalam urusan-urusan berlatih untuk kelak mendapatkan pekerjaan (dan karier) yang cocok.
 Tersirat di situ, pekerjaan (dan karier) sebagai sebagian tema pembahasan konseling mencakup (namun tidak hanya) latihan-latihan pemahaman ciri-ciri pribadi, tuntutan dunia-kerja/karier, dan pengharapan orang-orang berpengaruh; serta latihan-latihan pembuatan pilihan dan pengambilan keputusan. Meskipun segi pokok atau bidangnya ada kesamaan dengan bidang pada identitas, namun berbeda ruang-garap. Ruang garap penegasan subidentitas pekerjaan adalah masih pada level konstruksi/ide ~ terbahas dalam penegasan identitas pendidikan dan pekerjaan(-karier)  atau profesional. Ruang garap pembahasan tema pekerjaan, berbeda dari itu, merupakan upaya lebih kongkret seperti latihan-latihan identifikasi dan klarifikasi ciri-ciri pribadi, latihan-latihan pembuatan pilihan dan pengambilan keputusan pekerjaan. Untuk menampakkan ruang-garap urusan-urusan siswa di sini, beberapa kemungkinan kondisi siswa dalam urusan-urusan pekerjaan (dan karier) diilustrasikan dalam subtema di bawah ini:
1). Kaji kondisi khusus pribadi terkait pekerjaan (dan karier); 
2). Elaborasi untuk insight fakta diri;
3). Ramu-padu peluang-kerja dan pengharapan orang berpengaruh;
4). Jajak-padukan fakta-diri dan tuntutan dunia kerja;
5). Antisipasi kebermaknaan kerja dan kepuasan kerja kelak.
Kelimanya diakronimkan dalam kerangka KERJA agar komunikasi dapat lebih efisien dan mudah dihafal.
1). Kajian kondisi khusus pribadi terkait pekerjaan (dan karier) merupakan hal yang sangat krusial untuk kebanyakan remaja Indonesia. Dalam subtema kajian pekerjaan ini, konselor mungkin sekali bekerja dengan konseli yang enggan memadukan data yang ada, enggan memikirkan masa depan, menganggap bahwa penentu bidang kerjanya kelak adalah hanya orangtua. Fenomena ini merupakan hal khas pada banyak remaja Indonesia kontemporer. Kemungkinan lain yang dapat terjadi dalam subtema pekerjaan/karier ini adalah konseli dengan kondisi dukungan ekonomi keluarga cukup namun konseli lebih memilih menghamburkan modal dan menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan ilusi bahwa ke depan dirinya hanya melanjutkan perusahaan keluarga dan dirinya tidak harus berusaha sekarang. Nilai-nilai hedonisme sesaat sekarang, tanpa sensitivitas akan kerugian diri pada masa depan banyak pula mewarnai pilihan-pilihan keputusan dan tindakan terkait lapangan-kerja para remaja yang sesungguhnya beruntung memiliki dukungan berlebihan dalam segi ekonomi keluarga.
Namun, pada konseli dengan kondisi sebaliknya, misalnya, merasa putus-asa dengan dukungan ekonomi yang sangat kurang, bahwa tiada lagi harapan, tidak ada yang bisa menolong untuk mobilitas sosial. Di sini, konseli mungkin memiliki konstruksi pribadi bahwa pekerjaan enak dan bergengsi itu hanyalah hak dan milik orang-orang atau keluarga tertentu yang sudah punya akses; anak dokter akan menjadi dokter, anak pengusaha akan menjadi pengusaha, anak artis akan menjadi artis, anak tukang paling menjadi pegawai rendahan, anak petani akan tetap menjadi petani. Mereka dalam kondisi ekonomi lemah ini mungkin saja sampai pada pemikiran bahwa “baru kami bisa hidup layak dan cepat kaya kalau merampok”. Konstruksi-konstruksi semacam ini harus sudah selesai (dalam arti tergantikan dengan yang produktif) dalam pembahasan tema karakter dan identitas melalui konseling. Konstruksi semacam ini terlalu kasep, sangat terlambat, jika baru diketahui adanya dan dikaji dalam tema pekerjaan (dan karier).
Namun demikian, untuk contoh-contoh kajian kondisi khusus pribadi terkait pekerjaan (dan karier) yang diilustrasikan di atas ini, konselor tidak cukup hanya sampai pada rekontruksi karakter dan identitas pekerjaan (dalam tataran ide), namun harus sudah sampai pada tataran akomodasi dan tindakan ~ dimulasi dari latihan-latihan sederhana meningkat ke yang lebih rumit secara progresif.
2). Elaborasi untuk insight fakta diri yaitu pemahaman ciri-ciri pribadi terkait pekerjaan (dan karier) sangat sejalur dengan layanan perencanaan masa depan. Layanan perencanaan masa depan dalam hal pekerjaan/karier berisi dua tingkatan usaha pokok siswa yaitu penegasan konstruksi “identitas pendidikan/pekerjaan” (subtema bahasan identitas, terdahulu), dan kecerahan pemahaman ciri-ciri diri (subtema bahasan pekerjaan) di sini. Kecerahan pemahaman ciri-ciri diri meliputi pengetahuan faktual secara terinci mengenai data diri, akomodasi fakta dan penerimaan diri, dan tindakan arah-diri yang jelas dan tegas. Lebih kongkret, hal itu mencakup potensi umum, potensi kecerdasan khusus, pengetahuan nyata (misal, prestasi akademik), dan keterampilan-keterampilan pemahaman diri, serta pemahaman terhadap ciri-ciri pribadi aspek lain seperti sikap, minat, kebiasaan, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi.
Dalam konseling, usaha elaborasi untuk sampai pada pemahaman ciri-ciri diri secara “tercerahkan” (insightful), siswa dibantu merujuk pada jawaban atas pertanyaan sebelumnya  yaitu ketegasan identitas pekerjaan/profesional. Pada pembahasan tema subidentitas itu, para siswa seharusnya sudah memiliki ketegasan konstruksi diri dari jawaban atas pertanyaan “Siapa saya ke depan”. Sekarang yang paling dasar adalah melakukan analisis data diri untuk mendapatkan pengetahuan diri, penerimaan diri, dan arah diri dalam urusan-urusan pekerjaan (dan karier).
Pertanyaan pada diri siswa lebih kongkret di sini adalah: “Siapa saya sekarang?” (mengenal, memahami, dan  menyadari diri mulai dari arti nama, asal-usul, susunan dalam keluarga, sebagai siswa sekolah apa, dalam rengking berapa, seberapa luas pergaulan sosial, punya keterampilan apa, punya ciri-ciri pribadi apa, dan seterusnya). Jawabannya ditemukan dari hasil analisis ciri-ciri diri atas data-data faktual. Ini kemudian dibandingkan  dengan konstruksi identitas yang diidealkan yang sudah dibahas dalam subtema identitas “jalur pendidikan dan karier/pekerjaan/profesi”. Petanyaan kongkret berikutnya pada diri siswa adalah: (Dalam apa adanya saya sekarang) “Apa yang harus saya lakukan untuk mencapai sosok diri yang saya idealkan itu?” dan “Bagaimana saya melakukannya?”. Rasanya contoh kongkret dalam hal ini sudah dapat dikenali dan dianalisis oleh para konselor untuk kompeten membantu siswa menemukan jawaban. Siswa yang mampu menjawab ini atas bantuan konselor dapat dikatakan sudah berada dalam jalur menjalani penerimaan diri, dan arah diri dalam tema pekerjaan/karier.
3). Ramu-padu peluang-kerja dan pengharapan, yaitu pengumpulan informasi peluang-kerja dan  pertimbangan peluang dunia-kerja/karier; pertimbangan tuntutan dan keuntungan dari sesuatu jenis pekerjaan; pertimbangan pengharapan orang-orang berpengaruh; serta rancang-padu pilihan kerja/karier pribadi dan pengharapan orang berpengaruh. Ini merupakan empat satuan “urusan-urusan” yang perlu dikelola seseorang untuk mendapatkan pekerjaan (dan karier) yang cocok. Pertama: ramu-padu informasi peluang-kerja yaitu mengumpulkan informasi dan memeriksa peluang-peluang yang tersedia dalam dunia kerja untuk dimasuki seseorang.  Dunia kerja dan peluangnya memang sangat bertingkat dan bervariasi. Jenis dunia kerja bertingkat mulai dari kerja semi-terampil, kerja terampil, tidak profesional, para-profesional, semi-profesional, dan profesional. Peluang kerja bervariasi, misalnya, menurut tempat/seting kerja yaitu darat, laut, udara; atau bekerja dengan benda-benda mati, hewan, orang; dalam ruang ataukah luar ruang; tempat kotor atau bersih. Tingkatan pekerjaan dan kelangkaan tenaga tersedia banyak menentukan besar-kecilnya peluang tersedia.
Kedua: membandingkan tuntutan dan keuntungan dari sejumlah jenis pekerjaan yang tersedia. Ini adalah urusan sangat rumit, bukan saja karena tingkatan dan seting/tempat pekerjaan adalah beragam, sebagian karena pemahaman siswa sebagai agen/aktor adalah unik. Dunia kerja kelautan, misalnya, dapat mengandung tuntutan yang berat bagi seseorang yang dengan latar belakang hidup pedalaman tetapi tidak bagi seseorang yang hidup di dunia kelautan sejak kecil. Kerumitan dapat dikurangi dengan tetap melihat tuntutan faktual dari sesuatu jenis pekerjaan. Besar-kecilnya keuntungan yang “dijanjikan” dari sesuatu jenis pekerjaan umumnya gayut dengan berat-ringannya tuntutan faktual suatu tingkat dan seting/tempat pekerjaan.
Ketiga: memahami pengharapan orang-orang berpengaruh, khususnya orangtua atau pihak-pihak yang membiayai pendidikan seseorang. Setiap orangtua Indonesia memiliki pengharapan tertentu mengenai dunia karier yang akan ditekuni oleh anaknya kelak (ingat, untuk anak Indonesia, tidak ada yang namanya autonomy; yang ada hanya independency atau “kemandirian”). Keadaannya memang adalah sangat beragam dari segi motif, akan tetapi hal umum adalah semua orangtua mengharapkan kenyamanan hidup anaknya kelak. Ini merupakan hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan. Ini sangat benar terutama dalam latar sosial-budaya Indonesia. Di sinilah kenyataannya bahwa status “otonom” siswa adalah tidak penting dalam budaya Indonesia, yang jelas adalah (sekali lagi) keperluan mandiri siswa dalam mengurusi semua.
Keempat: rancang-padu pilihan kerja/karier pribadi siswa dengan pengharapan orang berpengaruh. Ini diharapkan merupakan urusan yang sudah dilakukan oleh konseli di luar konseling. Keadaan ideal dapat saja terjadi dalam mana keluarga siswa adalah sangat demokratis sehingga pembicaraan mengenai cita-cita kerja anak sudah sering terjadi dalam berbagai cara dalam keluarga dan mendapatkan kesepakatan keluarga. Istilah “rancang-padu” dalam hal ini mengindikasikan bahwa siswa dan orangtuanya membuat semacam “draf kesepakatan” pekerjaan(-karier) untuk anak. “Draf kesepakatan” dimaksud haruslah siap direvisi manakala ciri-ciri pribadi anak, ketersediaan peluang jenis pendidikan sesuai, serta ketersediaan peluang kerja mengalami ketidakcocokan. Ketika ini terjadi, atau bahkan jika tidak tercapai “draf kesepakatan”, maka urusan keempat ini pun tentu masuk sebagai urusan siswa dalam konseling.
Dengan demikian, dalam konseling, keempat hal itu perlu diurusi sejak (bahkan dengan kadar lebih besar) di luar interviu konseling, di luar bimbingan/konseling kelompok dan (bahkan) sudah diurusi di luar bimbingan klasikal. Penelusuran informasi peluang-peluang pekerjaan (dan karier), dan yang melibatkan pengumpulan data spesifik sesuai dengan keunikan keperluan tiap siswa, memerlukan kemandirian siswa. Jika siswa dapat mengelola sendiri “Catatan Kumulatif” (Cummulative Record) masing-masing dalam hal ini maka kemudahan urusan siswa sendiri mudah didapat dan (lebih penting lagi) siswa terlatih untuk mandiri mengelola urusan-urusannya sendiri.
4). Jajak-cocokkan diri dengan jenis/tipe pekerjaan. Ini memerlukan kecakapan yang diperoleh melalui latihan-latihan penyocokan diri, pembuatan pilihan dan pengambilan keputusan. Ini merupakan satuan urusan besar lainnya dalam konseling pekerjaan (dan karier). Penekanan pada konsep “jajak-cocokkan” mengisyaratkan secara tegas bahwa dalam konseling urusan pokoknya siswa menjalani latihan-latihan, siswa berlatih untuk memperoleh dan memiliki kecakapan dalam hal itu; (penekanannya) bukan aktivitas riel menyocokkan diri, membuat pilihan, dan mengambil keputusan pekerjan (dan karier) yang segera akan dimasukinya. Namun, ada prinsip primer bahwa suatu latihan yang baik adalah perlu banyak kemiripan “situasi buatan” (seting latihan) dengan “situasi sesungguhnya” (seting dunia kerja). Juga, ada prinsip sekunder bahwa suatu latihan yang baik dimulai dari yang sederhana, mendatangkan rasa-mampu, menggugah motivasi, dan memiliki daya transfer.
Oleh karena itu, latihan-latihan penyocokan diri dimulai dari identifikasi ciri-ciri jumlah terbatas dan kadar sederhana pada diri tiap siswa versus tuntutan tugas riel dan sederhana di sekolah. Ini berkembang secara progresif, misalnya, ke arah latihan-latihan penyocokan ciri-ciri diri yang lebih rumit versus ciri-ciri dan tuntutan lingkungan tugas-kerja riel sekitar, sejalan dengan semakin lanjutnya latihan. Latihan-latihan pembuatan pilihan dan pengambilan keputusan juga menerapkan kedua prinsip praktis itu. Latihan-latihan melaksanakan langkah-langkah mengenali keperluan (identifikasi dan merumuskan “masalah”), menetapkan dan merumuskan tujuan, menyusun alternatif, menguji alternatif, memilih alternatif yang sangat mungkin dan tersedia, sampai pada langkah mengambil keputusan dan memecahkan masalah, perlu dilakukan mulai dari soal-soal (tugas-tugas) kongkret dan sangat sederhana.
Tuntutan dan harapan guru di sekolah, teman-teman lain, dapat disisipkan dalam latihan-latihan lanjut (yang agak rumit) sebagai representasi analogis dari tuntutan/pengharapan orangtua dan orang-orang berpengaruh dalam penetapan pilihan dan keputusan seseorang. Ini tidak berarti bahwa dalam konseling pendidikan tidak boleh sama sekali dilakukan penyocokan diri, pembuatan pilihan, dan pengambilan keputusan pekerjaan (dan karier) sesungguhnya. Ini mungkin saja diperlukan untuk sekolah tertentu dan siswa tertentu. Dalam keperluan ini, dimungkinkan diteruskan pada latihan-latihan keterampilan penyusunan surat lamaran kerja, latihan interviu kerja, dan semacamnya. Namun, hal tersebut terakhir ini bukan urusan utama sebab yang utama adalah latihan-latihan.
5). Antisipasi kepuasan dan kebermaknaan kerja kelak. Ini akan menyangkut keberterimaan sosial-pribadi (satisfaktori) terhadap simbol atau indikasi-indikasi makna (signifikasi) tiap bidang pekerjaan (diferensiasi) selain kenyataan bertingkat-tingkatnya (stratifikasi) status jabatan atau kedudukan dalam tiap bidang pekerjaan. Konsep keberterimaan sosial-pribadi (satisfaktori) suatu pekerjaan menunjuk pada sifat-sifat objektif pekerjaan yang mengandung ciri-ciri primer yang membanggakan orang lain dan diri, diharapkan oleh banyak orang lain dan diri, atau memberikan kecukupan psiko-sosial. Pekerjaan pendidik, tenaga medis, dan  pengacara, sebagai contoh, ketiganya memiliki sifat-sifat objektif yaitu adanya syarat pendidikan formal yang relatif  tinggi, dan memiliki ciri primer sebagai “profesional” dan “penolong” (helper). Jika signifikasi itu dialami oleh seseorang pekerja di dalam bidang pekerjaan ini maka secara subjektif juga seseorang itu mengalami kepuasan kerja (job satisfaction) dalam bidang ini. Dengan kata lain, konsep satisfaktori (satisfactory) pada pekerjaan adalah salah satu dimensi objektif dunia kerja yang potensial mendatangkan kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai dimensi subjektifnya.
Hal berikut yang perlu dipahami adanya oleh seseorang dalam antisipasi kepuasan kerja adalah signifikasi (sinification). Signifikasi adalah tanda-tanda yang ada secara objektif pada suatu bidang pekerjaan yang memberikan indikasi-indikasi atau simbol-simbol atau penanda tertentu yang mendatangkan makna-makna sosial dan pribadi tertentu. Pekerjaan pendidik, tenaga medis, dan  pengacara, kembali ke contoh, ketiganya memiliki penanda sebagai ciri-ciri primer berupa (antara lain) surat keputusan (pengangkatan), sertifikat atau izin praktik; selain ciri-ciri sekunder seperti pakaian (uniform), tanda pangkat, predikat, dan seterusnya. Penanda-penanda atau ciri-ciri primer ini  akan membawa hak-kewenangan bekerja (ligitimasi) seseorang dalam bidang-bidang itu. Keberadaan legitimasi ini (ciri-ciri primer dan sekundernya) adalah sebagian hal lain yang potensial mendatangkan kepuasan kerja (job satisfaction) orang-orang yang bekerja dalam bidang yang bersangkutan.
Kedua hal di atas itu berada dalam kenyataan terdiferensiasinya dunia kerja. Hal terakhir yang perlu dipahami adanya oleh seseorang dalam antisipasi kepuasan kerja adalah stratifikasi (stratification). Ada peraturan lain yang memberikan batasan-batasan kepada setiap pekerja, selain yang dinamakan legitimasi, yaitu kenyataan objektif bertingkat-tingkatnya posisi atau susunan jabatan dalam setiap bidang pekerjaan. Bidang-bidang pekerjaan tertentu mungkin memiliki sifat-sifat posisi dan susunan majemuk, tidak tunggal, misalnya pendidik dalam perguruan tinggi, dalam mana ada pangkat dan jabatan, ada jabatan fungsional dan ada jabatan struktural sehingga dampak-dampak psikologis (kepuasan kerja) terkait posisi tidak terlampau berarti. Ini sangat berbeda dengan bidang pekerjaan dengan tingkatan linier, misalnya pada bidang militer dan kebanyakan bidang pekerjaan lain.
Pada kebanyakan bidang pekerjaan, jarang “pendatang baru” dunia kerja yang langsung menduduki posisi relatif (di) atas. “Pendatang baru” yang langsung memiliki bawahan, memang banyak tetapi tentu ada sejumlah atasan bersusun pada jabatan tingkat-tingkat lebih atas. Seseorang pendatang baru perlu siap juga untuk menerima perintah. Pada kebanyakan iklim dunia kerja sifatnya penuh dengan “himpitan-himpitan struktural”. Ada dominasi yang dapat dimiliki namun tidak selalu dimiliki serta-merta secara total. Apa makna mendominasi atau didominasi dalam dunia kerja adalah soal yang menyangkut kepuasan kerja. Orang pada umumnya lebih puas jika dapat mendominasi pihak lain, tetapi ada pula orang yang dapat memiliki kepuasan kerja meskipun didominasi oleh orang lain.
Hal penting dalam konseling pekerjaan subtema ini adalah konselor membantu siswa mengantisipasi kepuasan kerja dan kebermaknaan kerja kelak melalui sejumlah strategi pemberian informasi dan latihan-latihan. Tujuan pokoknya adalah agar siswa/konseli: (1) menyadari adanya keberterimaan sosial-pribadi (satisfaktori) terhadap simbol atau indikasi-indikasi makna yang ada pada sesuatu bidang pekerjaan; (2) menerima simbol atau indikasi-indikasi makna (signifikasi) bidang pekerjaan yang dicanangkan menjadi pilihan-pilihannya; (3) menerima adanya konsekuensi setiap jenjang stratifikasi pekerjaan yang kelak dipilihnya. Semua (ketiga) tujuan ini pada akhirnya mengarah pada antisipasi kepuasan kerja yang akan ditekuni para siswa kelak.

 


 
© Andi Mappiare-AT Blogspot Tutorial