Sabtu, 16 Maret 2013

Konstruksi Karakter Siswa dalam Konseling

Tema Pembahasan Model Konseling KIPAS
Karakter
Identitas
Pekerjaan
Akademik
Sosial





Paket Besar bernama “Karakter”:
Membungkus Pola Pikir, Perilaku,
Sifat, Sikap, dan bahkan Identitas dan Self

Andi Mappiare-AT
Edisi Revisi, 21 Mei 2013


Pembahasan mengenai ‘karakter’ manusia untuk menjadi tema kajian dalam konseling pendidikan...
“membawa assosiasi kita ke ranah filsafat pendidikan, rentang antara keyakinan Naturalisme-nya Schouvenhauwer dan Nativisme-nya J.J. Rousseau (“kiri”) versus Empirisme-nya John Locke (“kanan”) yang ditengahi oleh Konvergensi-nya William Stern. Sejak zaman pemikir kuno demikian sesungguhnya yang namanya “Pendidikan Karakter” telah diperdebatkan ikhwal “kuasanya” atau daya-pendidikan (educational power), dipersoalkan bagaimana pendekatan dan cara pewarisan atau pembentukannya; kemudian berlanjut pada kemunculan variasi konsepsinya dari zaman-ke-zaman, dari tokoh-ke-tokoh, pada berbagai belahan dunia. Empat rangkaian konsep bersusun secara piramidal yaitu pribadi > karakter > identitas > diri (self)[1] merupakan “wilayah garapan” pendidikan sejak zaman kuno”[2]

Karakter pada manusia menunjuk pada suatu ciri pribadi yang paling dasar dan mengejawantah menjadi watak. Ciri pribadi paling dasar (berupa watak) itu berasal dari paduan natif (native) atau natur (nature) pada satu sisi dan kultur (culture) pada sisi lainnya. Natif adalah sifat pembawaan atau warisan biologis sebagai manusia yang memuat ciri-ciri seseorang yang berbeda dari binatang dan tumbuh-tumbuhan, bukan “hewan berkaki dua”. Warisan biologis sebagai manusia dicirikan potensi-potensi yang jauh lebih banyak dan lebih luas dibandingkan dengan warisan biologis pada binatang ~ dalam hal keterampilan olah-gerak atau manipulasi tubuh, olah-pikir atau pemecahan masalah, dan olah-rasa atau kepekaan internal-diri dan kepekaan antarmanusia. Potensi lebih manusia pada ketiga hal itu agaknya yang membuat manusia dapat banyak belajar mencapai kecanggihan tingkat tinggi yang tidak dapat dicapai oleh hewan. Natur merupakan alam lingkungan fisik tempat orang bertumbuh sejak bayi sampai akhir hayat. Natur adalah pasif, namun "memberi pengalaman" untuk orang memaknainya menurut potensi natif masing-masing orang. Proses belajar manusia yang memungkinkan mencapai kecanggihan tadi sebagiannya adalah fungsi dari natif/natur, sebagian lainnya merupakan fungsi kultur.
Kultur adalah sumber sifat-sifat yang didapat seseorang sepanjang perawatan dan pengasuhan orang-orang yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi dan orang-orang lain baik orang-orang berpengaruh/berarti (significant others) maupun yang bukan. Konteks atau latar kultur itu adalah sangat luas, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan tetangga, lingkungan sekolah, masyarakat bangsa sendiri, sampai pada masyarakat bangsa-bangsa luar. Setiap orang sebagai agen atau aktor menyerap informasi baik langsung maupun melalui aneka media dari berbagai tingkatan latar kultur. Setiap agen atau aktor, selanjutnya secara menerus memaknai informasi kultural itu dan mengonstruksi karakternya melalui kesadaran diskursif (dapat dijelaskannya secara logis) ataupun kesadaran-palsu (tidak dapat dijelaskannya secara logis), lalu mengonstruksi pandangan hidupnya (world view).
Kepekaan dan selektivitas setiap agen atau aktor dalam menyerap informasi dan memaknai informasi adalah fungsi-fungsi dari natif/natur dan kultur. Hasil dari penyerapan dan pemaknaan informasi tadi menciptakan karakter untuk tiap-tiap manusia sebagai agen atau aktor. Ciri-ciri ekspresif karakter (atau watak) seseorang manusia merupakan perpaduan antarkeduanya ~ natif/natur dan kultur ~ dengan kata lain, konstruksi karakter adalah bersifat konvergen. Karakter atau pengejawantahannya berupa watak yang ideal adalah dalam kualitas pribadi-utuh seseorang. Hal itu tercermin dalam identitas dan self, pola pikir, sifat, sikap, dan menampak dalam perilaku atau tindakan yang bercirikan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Karakter ideal seperti inilah yang diharapkan terkonstruksi di dalam diri para insan Indonesia, diwariskan melalui pendidikan, bimbingan, dan konseling.
Di dalam konsepsi “seimbang-selaras-serasi” itu adalah inti kriteria siswa berkarakter ideal yang diharapkan. Konsepsi “seimbang-selaras-serasi” itu, tidak lain adalah  inti pandangan hidup (world view) bangsa Indonesia. Sesuatu yang “seimbang-selaras-serasi” dilabelkan secara singkat menjadi “pantas” atau “cocok”. Secara umum, jelasnya, pribadi yang “pantas” atau “cocok” itu adalah mengandung pandangan hidup yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dalam kriteria yang sangat terkenal tadi. “Seimbang” berarti paduan 2, 3 atau lebih pandangan hidup yang tidak berat-sebelah, tidak ada dominasi; “selaras” berarti pandangan hidup yang berpadu itu berjalan dalam satu jalur yaitu jalur kebijaksanaan menuju kebajikan; “serasi” berarti dijadikan berkesesuaian atau tidak saling-bertentangan. Kriteria ini, dalam kehidupan sehari-hari, berlaku untuk menafsirkan bangunan kongkret dan abstrak; konstruksi fisik maupun konstruksi psiko-sosial, termasuk yang disebut “karakter”. Bangunan atau konstruksi karakter yang memenuhi kriteria “seimbang-selaras-serasi” itulah yang disebut “pantas” atau “cocok” pada bangsa Indonesia.
Konsepsi “karakter” merupakan sesuatu ciri pribadi yang sangat umum. Diperlukan kearifan dan kehati-hatian sehingga seorang rasanya tidak perlu terburu-buru menyebut istilah atau konsep khusus untuk menunjuk suatu label kualitas karakter, sebab bisa-bisa menunjuk label sifat khusus, sikap khas, atau bahkan ciri perbuatan tampak. “Penyabar”, misalnya, adalah suatu sifat khusus. “Cinta damai”, misalnya, adalah sikap khusus pula. “Hormat kepada orangtua” adalah ciri perilaku tampak. Label-label sifat, sikap, dan perilaku sesorang, semuanya bukanlah label karakter. Karakter merupakan ciri pribadi yang paling dasar, berisi pandangan-hidup (world view) dan mengejawantah menjadi watak menampak dalam perilaku.
Atas kriteria itulah, konstruksi karakter bangsa Indonesia yang diidealkan dapat ditemukan cikal-bakalnya di dalam pandangan-hidup (world view) bangsa Indonesia. “Wujud”-nya terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan (termasuk, tentu saja) lima sila dari Pancasila. Karakter bangsa Indonesia, tegasnya, adalah bersifat eklektik-gestalistik, dan disebut “MIS” (“Manusia Indonesia Seutuhnya”)[3]. Label-label umum karakter bangsa Indonesia yang diidealkan hanya dapat disusun secara unik dengan landasan yang kuat (akar budaya bangsa). Label-label dimaksud tidak mungkin tepat jika diperoleh hanya dan semata-mata dari konsepsi-konsepsi umum perspektif asing, misalnya dari petikan sumber-sumber luar.
Memang diperlukan frasa konseptual untuk melabelkan karakter namun haruslah bersifat umum. Berlandaskan akar budaya bangsa, dapat disusun kategori umum karakter MIS dalam “paduan pantas” atau keutuhan pandangan hidup yang PANTeS sebagai berikut:  
1). Pola-pikir utuh: Personalitas-Humanitas-Environmentalitas;
2). Aksi-posisional utuh: Praktikalitas-Realistisitas-Idealitas;
3). Norma-luwes utuh: Individualitas-Kolektivitas-Universalitas;
4). Tenggang-rasa utuh: Etnisitas-Nasionalitas-Internasionalitas;
5). Sistem-keyakinan/nilai utuh: Materialitas-Sosialitas-Religiusitas.
Kelimanya diakronimkan menjadi “PANTeS”. Sejumlah karakteristik budaya terlibat pada tempatnya dan dipertimbangkan secara “pantas” atau “cocok” oleh pendidik, pembimbing atau konselor ketika pendidik atau konselor berupaya memandirikan peserta-didik dalam kerangka-kerja “PANTeS”. Beberapa karakteristik yang dilabelkan “matriarkis-patriarkis” (perspektif jender), juga “power-distance” (perspektif struktural), misalnya,  tidak diterima mentah-mentah oleh pendidik atau konselor namun dipertimbangkan secara “pantas” atau “cocok”-nya dalam upaya memandirikan peserta-didik. Pada kriteria itu, misalnya, akan dapat ditafsirkan karakter siswa/konseli terutama ikhwal kecocokan(-ketidakcocokan)-nya untuk budaya Indonesia dan kemampuan(-ketidakmampuan)-nya merespon tuntutan perkembangan global.
Upaya memandirikan peserta-didik dalam konseling sebagai bagian utuh dari bimbingan dan pendidikan adalah upaya konstruksi kelima kategori label pandangan hidup ini secara “seimbang-selaras-serasi” sampai mencapai kualitas “pantas” atau “cocok”. Inilah agaknya konstruksi karakter sebagai luaran konseling yang diidealkan. Deskripsi agak kongkretnya dapat dicanangkan untuk tiap label karakter umum itu. Konselor dalam membahas tema karakter senantiasa mengases tiap unsur dalam kelima kategori label karakter itu berdasarkan kriteria di atas dan melabelkan kualitas “pantas” atau “cocok” atau tidaknya, menurut pelabelan khas “urusan-inti” konseli dalam konseling.
1). Pola-pikir utuh: Personalitas-Humanitas-Environmentalitas. Di sini, setiap insan  Indonesia (tentu termasuk para siswa) diharapkan memiliki pola-pikir yang utuh dalam konstruksi pribadi dan koneksitasnya dengan manusia lain dan lingkungan sekitar. Secara agak kongkret, sejumlah kompetensi kecakapan hidup pribadi (personalitas) yang diusahakan oleh seseorang senantiasa dilihat koneksitasnya dengan kemanusiaan, keselamatan diri dan kepentingan manusia lain. Dengan kata lain, pada satu sisi, personalitas itu (kompetensi kecakapan hidup pribadi) adalah bersifat manusiawi untuk keperluan seluruh manusia (humanitas).  Diharapkan keduanya secara berpadu juga berkoneksi dengan keperluan pemeliharaan alam-lingkungan untuk menopang kehidupan manusia (environmentalitas).
Dengan demikian, orientasi pengembangan kemandirian para siswa melalui konseling adalah kecakapan diri-pribadi yang manusiawi, kecakapan peningkatan martabat manusia dan diniatkan untuk pemeliharaan alam-lingkungan. Kecakapan pribadi yang manusiawi ditandai oleh pemberian zona meluangkan (enabling zone) untuk orang-orang lain untuk menumbuhkembangkan dirinya secara utuh; bukan pembatasan dan pemaksaan yang patriarkis (misalnya, larangan berbuat baik, perampasan hak teman, bullying yaitu penggunaan kekuatan atau koersi untuk menganiaya atau mengintimidasi orang-orang lain). Keperluan pemeliharaan alam-lingkungan, pada hajat yang lebih luas, ditandai oleh pengelolaan dan pemanfaatan sumber-daya alam dan lingkungan fisik sekitar sehingga sumber-daya alam lingkungan memberikan nilai-tambah untuk kemasylahatan manusia di muka bumi; bukannya melakukan “kekerasan kepada bumi” sebagai cerminan sifat-sifat patriarkis. Dengan demikian, yang namanya “kekerasan” atau “pengrusakan” pemakaiannya tidak hanya berlaku untuk sesama manusia melainkan  juga dapat dipakai untuk perlakuan terhadap alam.
Seseorang siswa sebagai agen/aktor, suatu contoh, mungkin secara pribadi telah “belajar” memiliki konstruksi pola-pikir ~ entah melalui keluarga ataupun media massa, televisi ~ dan memiliki sifat-sifat patriarkis (pemaksa, otoritatif), bahwa “merusak itu indah dan lucu”, bahwa “menganiaya teman adalah patut ditertawakan”. Konselor  pendidikan, dalam hal ini, perlu merekonstruksi dalam membentuk pemahaman humanis sang siswa untuk memiliki pola-pikir sebaliknya (menjadi matriarkis) untuk keseimbangan lingkungan sosial. Peralihan “pantas” dalam dinamika patriarki menjadi matriarki adalah karakter ideal bangsa Indonesia. Peralihan “pantas” itu bisa jadi dalam ekspresi fluktuatif ataupun ekspresi dinamis, menurut konteks lingkungan sosial dan tujuan-tujuan sosial yang tetap dalam bingkai humanitas dan environmentalitas.
2). Aksi-posisional utuh: Praktikalitas-Realistisitas-Idealitas. Frasa “aksi-posisional” bukanlah suatu tindakan melainkan konstruksi mengenai pemosisian-diri dalam pemikiran dan penyikapan. Namun demikian, konstruksi aksi-posisional itu juga dapat tercermin dalam perlaku tampak ~ apakah seseorang terlalu memihak atau berat sebelah, “njomplang” (bahasa Jawa) pada salah satu saja unsur ataukah seimbang-selaras-serasi. Seseorang yang memiliki konstruksi aksi-posisional hanya pada praktikalitas, memiliki kecenderungan berbuat dengan hanya mementingkan keperluan praktis, pragmatis, “yang penting tugas selesai”, tanpa mempertimbangkan bahwa secara realistis diri dan sumber-daya kehidupannya masih dapat menciptakan produk yang berkualitas lebih tinggi. Konstruksi aksi-posisional secara terpadu kepentingan praktis (praktikalitas) dengan pertimbangan realistis potensi diri dan sumber-daya diri (realistisitas) adalah perlu, namun belum cukup untuk membuat produk yang berkualitas lebih tinggi lagi (dalam konsepsi aktualisasi diri secara penuh). Dengan kata lain, keduanya perlu diisi dengan konstruksi idealis yaitu pengaitan pengerjaan tugas dengan pandangan-pandangan ideal sebagai karya yang lebih baik lagi dan bermakna bagi masa depan (idealitas).
Sebagai produk konseling, dalam hal ini, siswa diharapkan dapat mengurusi kepentingan sesaat yaitu keperluan praktis (praktikalitas) dengan melihat fakta-fakta kongkret kondisi diri dan kehidupannya (realistisitas) namun juga memiliki pandangan-pandangan ideal ke depan, misalnya, sebagai kehidupan yang lebih baik yang hendak diraihnya (idealitas) selaras dengan kondisi dukungan realistis yang ada atau yang memungkinkan dimilikinya.  Dalam rumusan lain, konselor menggugah siswa berorientasi pada pemikiran kongkret (jangka-pendek) berpadu dengan berpikir agak abstrak dalam jangka-menengah sampai yang abstrak dalam perspektif jangka-panjang.
3). Norma-luwes utuh: Individualitas-Kolektivitas-Universalitas adalah subtema ketiga karakter yang juga bersifat konstruktif. Konstruksi norma atau ukuran-ukuran baik-buruk atau konstruksi indah-jelek dalam pemahaman seseorang dapat pula menampak pada perilaku. Orang-orang yang memiliki titik-berat pada individualitas  memiliki kecenderungan menyelesaikan tugas untuk kepentingan diri sendiri, tidak harus dalam bentuk kerja mandiri. Suatu kerja mandiri dapat bermakna kolektif. Ciri konstruksi individualitas dalam hal ini adalah penonjolan diri dalam kelompok, mengonstruksi diri sebagai “Mister right” atau “Mrs/Miss right”, hanya pendapatnya yang bagus, meskipun pekerjan itu mungkin dilakukan secara kolektif.
Orang-orang yang memiliki konstruksi paduan norma individualitas-kolektivitas mungkin saja bekerja mandiri, selain sesewaktu dapat luwes untuk juga bekerja secara kolektif (kolektivitas) namun, lebih dari itu, berada dalam proses-proses konstruksi kebermaknaan karya secara kolektif, kelompok. Dengan rumusan lain, proses promosi kualitas, peningkatan makna, pada karakter seseorang adalah yang memiliki konstruksi norma yang utuh. Misalnya, bahwa karya individualnya meskipun tidak dilakukan secara kolektif dipandangnya memiliki makna baik untuk kemasylahatan bersama kelompok (kolektivitas). Promosi kualitas tertinggi bahwa, misalnya, karya mandiri individualnya adalah bermakna kolektif, dan hal itu dikonstruksi untuk berlaku dan bermakna bagi masyarakat umum tanpa batas (universalitas).
Untuk siswa, secara ideal, keutuhan norma individualitas-kolektivitas-universalitas ditandai adanya penghargaan pada diri sendiri dan kepemilikan kompetensi individual siswa untuk berkompetisi (individualitas) namun juga siswa memiliki rumpun-komunitas yang jelas dan menghargai serta bisa bekerja-sama atau bergotong-royong (kolektivitas), tidak hanya dalam kelompok atau komunitas yang diakrabi tapi, juga dengan bangsa manapun (universalitas). Tegasnya, siswa diharapkan peduli pada kemandirian pribadi, maksud-maksud subjektif diri sendiri, misalnya untuk giat bekerja, ulet atau tidak gampang menyerah menghadapi kendala tugas-tugas hidup, dengan tujuan untuk kemasylahatan diri dan orang-orang lain tanpa batas kemanfaatan.
4). Tenggang-rasa utuh: Etnisitas-Nasionalitas-Internasionalitas juga bermakna konstruktivistik. Frasa “tenggang-rasa” mengandung makna toleransi atau kelonggaran rasa dan kepekaan budaya. Tenggang-rasa atau toleransi merupakan nilai-nilai seluruh bangsa Indonesia yang turun dari Pancasila. Semua insan Indonesia memang diharapkan memiliki etnis yang khas namun hal itu adalah ditempatkan sebagai kekayaan nasional, bukan etnisitas primordial. Nasionalitas tiap insan Indonesia adalah juga bersifat utuh dalam arti ada penghargaan dan apresiasi terhadap kepentingan bangsa-bangsa lain. Terdapat jiwa internasionalitas tiap insan Indonesia yang mengejawantah berupa sifat tenggang-rasa atau toleransi terhadap keragaman nilai bangsa-bangsa lain. Itulah konsepsi karakter ideal tiap insan Indonesia.
Dengan demikian, karakter ideal para siswa Indonesia yang pantas adalah ditandai adanya kejelasan kategori etnis, kepekaan pada dan penghargaan terhadap budaya lokalnya (etnisitas) bersamaan dengan kepemilikan rasa nasional Indonesia dan pengembangan kognisi untuk belajar dalam arti luas bagi penguasaan ilmu/pengetahuan untuk kepentingan nasional (nasionalitas) serta peduli pula pada perdamaian dunia (internasionalitas). Dengan kata lain, orang jelas etnisnya dan beorientasi pada kearifan lokalnya sekaligus berorientasi pada pengembangan ilmu dan teknologi untuk kemasylahatan bangsa dan budaya-etnis dan budaya nasional untuk mengisi dunia global atau berpartisipasi dalam kiprah antarbangsa. Namun, jika keadaan memaksa karakter ini juga mewujud menghadapi dunia global dengan mengekspresikan kultur-tandingan.
5). Sistem-keyakinan/nilai utuh: Materialitas-Sosialitas-Religiusitas merujuk pada suatu label konstruksi karakter ideal (pantas) yang ditandai penghargaan pada materi/kepemilikan harta-benda (materialitas) sebagai sebagian modal hidup (tetapi bukan tujuan utama, sehingga bukan materialistis). Ini berarti setiap insan Indonesia diharapkan memiliki sikap tepa-selira, bersifat sosial, menyediakan sebagian kebendaan materialnya untuk kepentingan bersama selain untuk kepentingan diri dan keluarganya (bukan ekstrem sosialis). Penyediaan harta-benda material semacam itu  bukanlah nilai-nilai ekstrem komunal (bukan komunis), melainkan, kepemilikan dan pemanfaatan sosial benda atau materi itu ~ pada saat sama ~ didasari oleh jiwa religius. Tegasnya, ada konstruksi sistem nilai ketuhanan dalam usaha perolehan dan pemanfaatan materi.
Pada siswa, dalam konstruksi karakter ideal pada unsur ini, diharapkan mendapatkan dan memiliki materi dalam batas-batas potensinya untuk kepentingan diri dan lingkungan sosialnya. Itu berarti para siswa juga diharapkan memiliki lingkup sosial jelas dan kecakapan bersosialisasi, dalam mana tujuan utama kepemilikan materi adalah untuk kesejahteraan sosial bersama (sosialitas). Lebih jauh, niat perolehan materi, cara-cara pemerolehannya dan pemanfaatannya adalah di dalam bingkai aturan-aturan normatif suatu keyakinan religi. Ada kesenangan/kenikmatan religius yang dirasakan atau sekurangnya dipahami akan diperoleh seseorang siswa sebagai konsekuensi niat dan cara pemerolehan materi, serta pemanfaatan materi (religius). Ringkasnya, konselor mengagendakan modifikasi konstruksi karakter siswa berorientasi kepada hedonis-sosial berpadu dengan hedonis-religius.



[1] Upaya-upaya penegasan konsep karakter, identitas, dan self, pernah diabstraksikan dan diulas penteoriannya dalam perspektif teori sosial kritik (Fromm), interaksionisme simbolik (Mead), dramaturgi (Goffman), dan strukturasi (Giddens), dalam Mappiare-AT., Identitas Religius di Balik Jilbab: Perspektif Sosiologi Kritik (Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, UM Press, 2009) ~ modifikasi struktur dari Laporan Penelitian untuk Disertasi.
[2] Dipetik kembali dari Mappiare-AT., A., 2011. “Konseling Posmodern: Mampukah Membantuk Karakter Berbasis Budaya Unggul Nusantara?” Makalah Dibahas dalam Seminar Nasional dengan Tema “Konseling Post-Modern dan Pendidikan Karakter Bangsa” Bulan Pendidikan FIP UNESA di Surabaya, Tanggal 7 Mei 2011

[3]  Sebuah istilah yang berasosiasi dengan karya-karya Prof. Drs. Noor Syam, yang popular sekitar tahun 1980-an.

 
© Andi Mappiare-AT Blogspot Tutorial