Rabu, 15 Mei 2013

Pemikiran Kritis dalam Konseling Multibudaya



Butir-butir Pemikiran Kritis
Mengenali dan Menguasai Problematik BK dalam Budaya Indonesia

Andi Mappiare-AT

Problematik bidang apapun memiliki empat unsur dasar atau “mayor”: (1). Basis; (2). Tujuan; (3). Usaha-usaha (dan langkah-langkahnya) atau proses; (4). Penunjang dan Penghambat.
Basis adalah keadaan nyata yang umumnya dipandang merugikan, tidak diharapkan, tidak dikehendaki, dan karenanya perlu ditinggalkan atau diubah.
Tujuan adalah keadaan ideal yang umumnya dipandang menguntungkan, diharapkan, dikehendaki, dan karenanya perlu dicapai. Kesenjangan (gap) antara basis dan tujuan adalah ciri pertama dan utama suatu masalah atau problem.
Usaha-usaha dapat pula dinamakan “proses”. Ini merupakan penghubung atau jembatan antara basis dan tujuan. Usaha-usaha atau proses itu memiliki langkah-langkah tertentu yang dapat disusun secara prosedural dan hierarkis. Apapun cara penyusunannya, prosedural ataukah hierarkis, setiap langkah adalah menjauh dari basis dan mendekat pada tujuan. Ini adalah upaya pencapaian tujuan. Penghubungan basis dan tujuan adalah ciri kedua dari suatu masalah atau problem.
Penunjang dan penghambat atas usaha-usaha mencapai tujuan adalah selalu ada dalam usaha-usaha meninggalkan basis mencapai tujuan. Setiap kegiatan khusus atau ‘usaha minor’ untuk mengatasi penghambat atau memperkuat penunjang tentu terdapat ‘basis-basis’ dan ‘tujuan-tujuan’ bersifat ‘minor’. Pada setiap ‘usaha minor’ hampir selalu, kalau bukan selalu, disertai penunjang dan penghambat ‘minor’. Penunjang dan penghambar ‘minor’ yang banyak jumlah ini tidak jarang bersifat rumit. Ketika ini terjadi, maka suatu masalah menjadi permasalahan, suatu problem berubah menjadi problematik ~ rumit.
Apapun bidang keilmuan dan substansi masalahnya, setiap isu yang problematik pasti memiliki keempat unsur itu. Demikian pula dalam mengenali isu problematik Bimbingan Konseling, termasuk Konseling Multibudaya Indonesia.
Di bawah ini ditampilkan secara singkat butir-butir pemikiran kritis dalam mengenali dan menguasai problematik BK.
  1. Fenomena lapangan teramati ada banyak yang mengandung permasalahan Bimbingan Konseling (problematik BK).
  2. Konsep keilmuan bidang BK dapat ditarik dari sesuatu fenomena lapangan teramati itu.
  3. Proposisi terkait BK adalah potensial ditemukan dalam sesuatu fenomena teramati, dan proposisi itu perlu dirumuskan secara tajam.
  4. Teori ada banyak sebagai pilihan perspektif untuk dipakai oleh pemikir dalam “membaca” dan menafsirkan fenomena, menyusun konsep (dan proposisi) terkait BK.
  5. Rumusan permasalahan BK perlu disusun berdasarkan fenomena dan konsep/proposisi “temuan” ~  bagaimana rumusan basis(nya) – bagaimana tujuan(nya) – apa dan bagaimana usaha-usaha untuk “meninggalkan”/mengubah basis yang tidak diharapkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan, serta apa dan bagaimana pula penunjang dan kendala dalam pengoperasian usaha-usaha pokok mencapai tujuan.

  1. (Para pemikir yang tertarik mengkaji problematik BK di Indonesia tentu sudah menguasai Konseling Multibudaya, KMb, dan dapat mencoba menemukan masalah pokok dalam bidang ini). Tidak terhitung banyaknya dan tidak terukur luasnya fenomena budaya dalam BK yang penuh makna interpretif. Interpretasi yang cermat tentu perlu dipertajam dengan pemakaian perspektif teori tertentu. Teori digunakan oleh pemikir pertama-tema untuk menemukan basis suatu permasalahan BK.
  2. Dari basis permasalahan yang “ditemukan” (khusus dalam KMb Indonesia) perlu selanjutnya dirumuskan tujuan dari permasalahan KMb Indonesia yang paling relevan, sejalur dan sejalan dengan basis.
  3. Berikutnya perlu dirumuskan usaha-usaha yang relevan KMb Indonesia. Usaha-usaha dimaksud beserta langkah-langkahnya untuk dijalankan oleh pemikir problematik BK dalam “meninggalkan”/mengubah basis dan mencapai tujuan.
  4. Sebagai contoh, ada banyak fenomena konseling di Indonesia dalam mana konselor cenderung menasihati para konseli dalam “temu konseling” sangat singkat. Konsep yang mungkin “ditemukan” dari fenomena demikian itu adalah “power koersif” dan konsep “efisiensi” (dalam perspektif teori pertukaran, social exchange theory). Dari sini dapat disusun proposisi, misalnya, “semakin konselor mengejar ‘reward’ bagi diri sendiri dengan pemikiran ‘efisiensi’ maka semakin kuat kecenderungan konselor itu menggunakan ‘power koersif’ terhadap konseli”. Pemikir problematik BK lainnya yang menggunakan teori lain sebagai perspektif dapat saja “menemukan” konsep dan proposisi yang lain sama sekali, meskipun fenomena yang diamati adalah sama. 
  5. Hal jelas, bahwa konsep dan proposisi “temuan” itu (apapun perspektifnya) dapat dikonstruksi menjadi basis bagi problematik KMb Indonesia. Misalnya, “Konselor cenderung menggunakan ‘power koersif” untuk mengejar reward bagi diri sendiri (hasil sepihak) secara efisien”. Pemikir problematik BK tentu ingat bahwa reward dalam konseling adalah untuk konseli, sementara konselor perlu altruistik. Reward  atas cost atau korban waktu konselor perlu diterjemahkan berupa “kepuasan-kerja setelah memuaskan konseli”. Tegasnya, basis itu adalah sangat perlu diubah. Tujuan atau arah perubahan yang dikehendaki segera dapat disusun, disusul dengan penyusunan usaha-usaha dan langkah-langkah beserta penunjang dan kendala untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.

 
© Andi Mappiare-AT Blogspot Tutorial