Selasa, 14 Mei 2013

Posisi-Diri Konselor Multibudaya



Level Posisi-Diri
dan Modus Kerja Konselor

Andi Mappiare-AT

Semua label pemosisian-diri (sikap dasar) konselor adalah sangat hiterogen dalam hal levelnya di antara sekian banyak konselor dengan latar belakang sosial-budaya, pendidikan formal, dan pengalaman profesional yang berlain-lainan. Namun demikian, sekali seseorang memilih profesi sebagai Guru BK atau Konselor maka sejak itu dirinya perlu mawas-diri, hadap-diri, dan menafsir-nafsir (assesing) se-level apa keberadaan label pemosisian-diri itu pada diri-pribadi/profesionalnya, dan senantiasa mengembangkannya. Cara menafsirkan level tiap label posisi-diri konselor dan pengembangannya demikian sederhana. Cukup dengan menyusun daftar-pertanyaan kecil yang berisi 3 – 5 sampel jabaran tiap label.  Lalu disiapkan skala penilaian pemakai-jasa (para siswa/konseli) dengan mengambil bentuk “user-satifaction scale”, menyerupai “client satisfaction scales”.[1]
Ambil sebagai contoh, posisi-diri (pada label) sebagai “Kawan” bagi siswa. Ini dapat dijabarkan menjadi 3 – 5 item, misalnya: (1). Menyapa siswa di luar kelas; (2). Menghampiri siswa yang sedang bergerombol; (3). Bercakap-cakap dengan siswa secara perorangan; dan seterusnya.  Tiap butir atau item dapat disusun rentangan skala penilaian, misalnya: 1 = tidak menolong; 2 = kurang menolong; 3 = cukup menolong; 4 = sangat menolong; 5 = amat sangat menolong. Item-item yang diberi nilai 2 atau 1 oleh pemakai jasa (siswa/konseli), perlu mendapatkan perhatian khusus untuk ditingkatkan. Instrumen sederhana demikian ini dapat merupakan bagian integral dari “Survei Ekpektasi Siswa”.
Jika semua label pemosisian-diri dapat ditempuh secara tepat oleh konselor maka konselor dapat melayani para konseli secara intensif. Ada sebuah contoh lain mengenai lima-level modus kerja konselor yang mungkin menarik diuji secara lebih mendalam. Melalui pengamatan sehari-hari mengenai kinerja konselor, pengalaman praktik, dan hasil diskusi bersama kolega pada beberapa kesempatan, pernah dirumuskan lima level modus kerja konselor:[2]
(1). “Bertemu” siswa (Level-5);
(2). “Menemui” siswa (Level-4); 
(3). “Menemukan” siswa (Level-3);
(4). “Ditemui” oleh siswa (Level-2);
(5). “Ditemukan” oleh siswa (Level-1).
Tiga level tersebut pertama ~ kata-kerja  aktif ~ adalah cerminan posisi-diri konselor intensif; dan dua level kedua ~ kata-kerja pasif ~ merupakan cerminan posisi-diri konselor non-intensif. Konselor yang bekerja intensif selalu melakukan usaha profesional pada level-3 yaitu “menemukan” konseli potensial melalui misalnya analisis “Cummulative Record” siswa sampai merumuskan “aset-terabaikan” pada diri beberapa orang siswa/konseli. Konselor intensif ini akan terdorong ke modus kerja Level-4  yaitu “menemui” siswa/konseli, entah dalam kelas atau di luar kelas, dalam menyampaikan langsung “Kabar gembira” (Tahap-1 Konseling model KIPAS). Konselor yang bekerja intensif tentu tidak berhenti sampai di situ. Dia akan segera menyiapkan diri untuk memasuki Level-5, “bertemu” siswa/konseli di ruang konseling dan bekerja bersama konseli dalam upaya menemukan “urusan-inti” sampai berhasil membantu konseli dan mengakhiri seluruh tahap konseling.
Konselor yang bekerja intensif diharapkan tidak menunggu “Ditemui” secara tiba-tiba oleh siswa (Level-2).  Meskipun demikian, dalam pemosisikan-diri seorang konselor sebagai “Kawan” sangat mungkin terjadi konselor ditemui oleh siswa karena keaktifan siswa sendiri mengolah “Cummulative-Record”-nya sendiri. Dalam hal ini, konselor mungkin “kalah” intensif-progresif dibandingkan dengan siswanya. Jika konselor dalam posisi-diri ini menyambut baik konseli dan “bertemu” dengan konseli maka sebagai “kawan” konselor perlu siap menyampaikan “Kabar gembira” pada klien itu.
Keadaan (bukan “kegiatan profesional”) yang perlu dihindari oleh konselor KIPAS adalah modus kerja konselor yang “Ditemukan” oleh para siswanya (Level-1). Dalam hal ini konselor tersebut sering “hilang” ketika diperlukan oleh siswa, entah karena sibuk dengan kegiatan non-bimbingan, aktivitas non-konseling, atau bahkan mungkin burnout, atau lainnya. Oleh karena itu, dua level terakhir ini dapat disebut sebagai modus kerja konselor non-intensif. Namun dalam keadaan tertentu, dalam mana konselor menerima ditemui oleh konseli, dapat pula terjadi empat level kinerja (Level-5 sampai dengan Level-2) adalah modus kerja dalam posisi-diri sebagai “Kawan” bagi siswa/konseli; sementara Level-1 jelas adalah posisi-diri “bukan kawan”.



[1] McLeod, J., 2001. Qualitative Research in Counselling and Psychotherapy. London, Thousand Oaks: Sage Publications (hal. 192).
[2] Konsepsi lima level modus kerja konselor ini telah diperkenalkan berkali-kali di antaranya dengan tema outreach dalam sejumlah workshop, pelatihan, dan seminar. Publikasi awal konsep ini dilakukan dalam sejumlah pelatihan “Konselor Fakultas” pada Subunit UBKMF (Unit Bimbingan Konseling Mahasiswa Fakultas) ~ sebagai bagian tidak terpisahkan dari UBKMI  (Unit Bimbingan Konseling Mahasiswa IKIP Malang) ~ antara tahun 1987 – 2000 ~ saat mana penulis sebagai konselor UBKMI UPT-BK IKIP Malang. Forum lain tempat  konsep ini dipublikasikan, a.l. “Studium General Jurusan BPI (Bimbingan dan Penyuluhan Islami) Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel” di  Surabaya (1997); “Seminar Regional IMPPB (Ikatan Mahasiswa Psikologi Pendidikan dan Bimbingan) Jawa Timur” di IKIP Surabaya (1999); “Seminar dan Lokakarya Pelayanan BK di Universitas Negeri Surabaya, UNESA” di Surabaya (2000).

 
© Andi Mappiare-AT Blogspot Tutorial